Sunday, April 05, 2009

Wakaf Uang dalam Perspektif Syariah dan Ekonomi



Pemberdayaan ekonomi umat kontemporer melalui berbagai instrumen inovatif dewasa ini termasuk pengembangan wakaf melalui sertifikasi wakaf dengan uang tunai yang kemudian lazim dikenal sebagai Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) sebenarnya akar pemikirannya tidak dapat dilepaskan dari pendekatan kajian konseptual, sistematika dan metodologinya. Prof. Volker Nienhaus, peneliti senior non muslim ahli ekonomi Islam dari Universitas Bochum Jerman yang bekerja pada Institute of Economic Cooperation, Tubingen dalam artikelnya berjudul Islamic Economics: Policy between Pragmatism and Utopia (1982) mengungkapkan empat formula pendekatan dalam kajian ekonomi Islam selama ini. Pertama adalah pendekatan pragmatis. Kedua adalah pendekatan resitatif. Ketiga adalah pendekatan utopian. Dan keempat pendekatan adaptif.
Dari keempat pendekatan tersebut menurutnya yang paling banyak dipakai adalah pendekatan resitatif. Berasal dari kata kerja recitation (pembacaan, imlak, hafalan dan pengajian), yang dimaksud oleh Nienhaus adalah pendekatan mengacu pada teks ajaran Islam Secara khusus pendekatan ini diantaranya mengacu pada hukum Fiqih Mu’amalah dalam kajian kitab-kitab fiqih oleh kalangan fuqaha yang disebutnya the orthodox jurist. Termasuk kategori pendekatan ini adalah kajian yang berorientasi teologis dan analisis moral yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan formula etika ekonomi seperti yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami (1995). Dalam litaratur klasik pendekatan teologi akhlak tersebut dikenal dengan Adab Al-Kasb wal Ma’asy seperti dikenalkan Imam Al-Ghozali (w.505H) dalam Ihya’ Ulumuddinnya.
Wakaf memasuki wilayah sistem ekonomi dapat dipahami bila disertai kajian kritis mengenai paradigma ekonomi yang kesejatiannya membawa kepada kemaslahatan (kesejahteraan social). Paradigma ekonomi yang berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk memprediksi perilaku di masa datang sebagaimana diungkap Dr. Khurshid Ahmad ketika memberi pengantar buku terbaru Chapra The Future of Economics; An Islamic Perspective (2000). Diskusi tidak lagi terbatas pada perubahan-perubahan di dalam paradigma; perdebatan mengarah kepada kebutuhan akan adanya perubahan paradigma itu sendiri. Tantangan ini, tulis Amitai Etzioni dalam The Moral Dimension; Towards a New Economics (1988) adalah paradigma utilitarian, rasionalistik, individualistik, neo-klasik yang diterapkan bukan saja pada perekonomian tetapi semakin meningkat pada berbagai aturan hubungan sosial.
Senada dengan pandangan itu, Critovan Buarque, ekonom dari Universitas Brasil dalam bukunya The End of Economics: Ethics and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi modern yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan etika. Hal tersebut menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang disebut Fukuyama “kekacauan dahsyat” dalam bukunya yang paling anyar, The End of Order (1997) berkaitan dengan runtuhnya solidaritas keluarga dan sosial. Oleh karena itu wakaf menjadi jawaban tepat atas kekisruhan paradigma ekonomi tersebut, karena wakaf membuktikan fenomena spirit solidaritas sosial.
Wakaf (Waqf) adalah sebuah terma fiqih yang memiliki dua makna yang khas perpaduan dua hal yang semula kontradiktif. Wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan umat. Dan wakaf tidak akan bernilai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf.
Menurut A.Mannan (1998), unsur esensial wakaf berupa keputusan penahanan diri dari menggunakan asset miliknya yang telah diwakafkan (refraining) yang disertai penyerahannya kepada kemasalahaatan publik menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat luas secara permanen dan kontinyu sebagaimana doktrin amal jariah. Oleh karena itu sangat relevan, terlepas dari perdebatan fiqih, bolehnya wakaf dengan dana tunai (cash) dan bukan harta tetap, bahwa gagasan sertifikat wakaf tunai dengan pola sertifikasi sebagai bukti ‘share holder’ proyek wakaf guna pengawasan dan wasiat pemanfaatan dari hasil (return) investasi dan pengelolaannya secara produktif.
Substansi wacana wakaf uang atau wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul bahkan dalam kajian fiqih klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqih mu’amalah dalam perspektif maqashid syariah (filosofi dan tujuan syariah) yang dalam pandangan Umar Chapra (1992) bermuara pada Al-Mashalih Al-Mursalah (kemashlahatan universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.
Dalam konteks ini, melalui pembahasan awal di Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI yang ditindaklanjuti oleh keputusan rapat Komisi Fatwa - MUI dalam mengakomodir kemaslahatan sejalan dengan maqashid asy-syari’ah yang terdapat pada konsep wakaf tunai berdasarkan pendapat Az-Zuhri, ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah para ulama Indonesia telah memutuskan untuk membolehkan wakaf tunai.
Isu kesejahteraan sosial dan ekonomi kerakyatan yang diusung oleh wacana wakaf tunai memunculkan akar dan substansi masalah sosial berupa keadilan ekonomi sebagaimana semangat keadilan ekonomi dalam UUD 45 yang menjiwai gagasan seputar RUU tentang Pemulihan Ekonomi yang ternyata secara empiris telah gagal dimanivestasikan sistem Sosialis maupun Kapitalis, bahkan Keynes (1930) dengan menyerabot secara sepotong gagasan Ibnu Khaldun berusaaha mengusung slogan dan wacana kesejahteraan sekalipun melalui gagasan model Negara Sejahtera (Welfare State) di Inggris dan modifikasinya model New Deal yang dikembangkan oleh Franklin Delano Rosevelt mengalami kemandulan. Pasalnya, format eksperimental tersebut tidak menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya yaitu keadilan ekonomi yang universal.
Sungguhpun dalam kajian utopian dunia Barat berusaha mengkongkretkan cita-cita keadilan sosial, namun dalam format operasional pada tataran impelementasinya tetap terjadi kerancuan. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek yang dilakukan Filsuf sosial Amerika, John Rawls, dalam bukunya The Theory of Justice (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya Anarchy, State and Utopia (1974) telah menjadi contoh yang merepresentasikan kegagalan teori keadilan perspektif Barat dalam tataran impelentasi historis.
Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan komprehensif dalam bukunya Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya termasuk wakaf yang bukan sebatas teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, antara kelompok yang kaya dan kelompok yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam.
Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal fragmen sejarah solidaritas kalangan sahabat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Diantara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khathab sebagai warga sederhana bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw. untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat. Dengan menukil pandangan Gibb untuk mendukung kritik sosialnya, Quthb menawarkan sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan Indonesia yang menurutnya sangat potensial untuk memberi kontribusi signifikan bagi kesejahteraan social secara luas.
Setelah sukses dengan mendapatkan sambutan luas terhadap buku Towards a Just Monetary System (1985) yang diluncurkannya untuk mengkampanyekan format keadilan ekonomi melalui pendekatan sistemik di bidang moneter, Chapra dalam bukunya Islam and the Economic Challenge (1992) menawarkan resep rekonstruksi kesejahteraan sosial melalui paket restrukturisasi ekonomi berupa; pola mengubah preferensi konsumen dengan filter moral, reformasi keuangan publik yang disiplin, meningkatkan iklim investasi yang bebas rintangan, merancang kembali pola dan prioritas produksi, mengatasi pengangguran dan lapangan pekerjaan.
Gagasan Wakaf Tunai yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan melalui pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di Banglades yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis kesejahteraan yang ditawarkan Chapra. Model Wakaf Tunai adalah sangat tepat memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer ditengah kegalauan policy pemberian insentif Tax Holiday untuk merangsang masuknya modal asing dan kontroversi seputar policy pemerintah pada UKM yang belum mengena sasaran dan menyentuh inti permasalahan. Wakaf Tunai sangat potensial untuk menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan luar negeri sebagaimana disoroti ekonomi UI, Mustafa E. Nasution (2001) dan menjadi keprihatinan kalangan pengamat semisal Dr. Tulus Tambunan dalam Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi (1998).
Wakaf Uang sangat relevan memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang digarap melalui tantangan profesionalisme yang amanah dalam fund manajement nya ditengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik, dan sindrom capital flight. Ia sangat tepat merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah disamping pertimbangan hikmah rasional ekonomis kesejahteraan sosial. Ia sangat strategis menciptakan lahan pekerjaan dan mengurangi pengangguran dalam aktivitas produksi yang selektif sesuai kaedah syariah dan kemaslahatan. Ia sangat potensial untuk memberdayakan sector riil dan memperkuat fondamental perekonomian. Ia sekaligus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran akan solidaritas sosial sehingga tidak berlaku lagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbaanan dari pihak minoritas (kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak yang mayoritas (kaum miskin), sebagaimana gugatan Chapra dalam berbagai tulisannya.
Berdasarkan laporan yang ditulis oleh Maurice Allais peraih Nobel tahun 1988 dalam bidang ekonomi, dari sebanyak US$ 420 M uang yang beredar di dunia perhari, hanya sebesar US$ 12,4 M (2,95%) saja yang digunakan untuk keperluan transaksi dan sisanya adalah untuk keperluan spekulasi dan judi. Sedangkan situasi yang diharapkan adalah bila terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter semestinya tidak berjalan sendiri meninggalkan sektor riil.
Oleh karena itu sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir yang salah satunya adalah dengan memberikan pembiayaan mikro melalui mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK) semacam reksadana syariah yang dihimpun Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan akibat krisis berkepanjangan. Pemberian skim pembiayaan mikro ini cukup mendidik ibarat memberi kail bukan hanya ikan kepada rakyat dan diharapkan dapat menciptakan kemandirian. Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurang biaya oprasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui wasiat wakif (pemegang SWT) ataupun tanpa wasiatnya.
Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf uang telah hadir efektif dan menjelma secara nyata dalam implementasi produk-produk funding lembaga keuangan syariah, Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat sebagai contoh seperti Wakaf Tunai Dompet Dhua’fa Republika, Wakaf Tunai PKPU dan Waqtumu (Waqaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitul Muamalat - BMI.
Demikian halnya sebenarnya masalah wakaf uang seperti mengedarkan proposal dan kwitansi wakaf sebesar @ Rp.50.000,-. Menjadi kelaziman sejak lama dalam rangka fundrising oleh ormas-ormas dan yayasan Islam untuk mendanai proyek-proyek sosialnya. Hal itu dipandang sangat fleksibel dan berpotensi untuk produktif dan berpeluang memberdayakan ekonomi umat. Namun impelementasi kekiniannya menurut kaca mata fikih kontemporer dan ekonomi Islam memerlukan pemikiran dan rekonstruksi ulang diantaranya dengan prakarsa dan berdirinya Badan Wakaf Indonesia. Tidak dipungkiri masih kuatnya anggapan umum masyarakat muslim dan persepsi tradisional yang melihat bahwa wakaf selalu identik dengan menghibahkan properti atau harta tetap (fix asset) sebagai charity kepada umat untuk menjadi aset bersama (public property) dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum.
Dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara anggota PBB yang kategori termiskin dan maju di Brussel, Belgia pada tanggal 14 Mei 2001, diangkatlah topik “Melebarnya Jurang antara Kaya dan Miskin”, Pada konferensi itu Presiden Perancis Jacques Chirac menyatakan bahwa lebih separuh dari 630 juta penduduk di negara miskin hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 sehari. Meskipun terjadi pertumbuhan global serta adanya bantuan pembangunan, namun jumlah negara yang digolongkan PBB sebagai negara ‘paling terbelakang’ malah meningkat dari 25 negara pada tahun 1971 menjadi 49 negara tahun 2001. Yang dimaksud sebagai negara “paling terbelakang” adalah negara yang angka pendapatan perkapitanya kurang dari US$ 900 per tahun.
Negara Indonesia saat ini hampir memenuhi semua dari ciri-ciri negara miskin seperti pendapatan perkapita rendah, tingkat pertumbuhan populasi tinggi, produktivitas rendah, pengangguran tinggi, penggunaan sumber daya rendah, kelembagaan dan infrastruktur tidak memadai. Oleh karena itu untuk mengurangi beban pemerintah dan beban rakyat model Wakaf Tunai sangat tepat untuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary sehingga terjadi arus lancar penyaluran dana dari surplus unit kepada deficit unit dalam semua level sosial sebagai manivestasi prinsip profit distribution dan flow concept yang ditegaskan al-Quran dengan adanya pantangan sistem ekonomi syariah terhadap konsentrasi kekayaan (dulah bainal aghniya’) pada segelintir anggota masyarakat serta resistensi terhadap status idle (nganggur) bagi segenap sumber daya dan asset yang bertentangan dengan kosep syukur. (Lihat, QS.Al-Hasyr:7)
Dengan demikian, kebutuhan masyarakat Indonesia akan ketersediaan dana untuk mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kualitas hidup dan mewujudkan kesejahteraan sosial semakin mendesak dan bertambah besar. Permasalahannya sekarang, pemerintah tidak mampu dan kurang efektif untuk memenuhi hajat hidup dan kebutuhan tersebut, bahkan bantuan luar negeri pun yang dijadikan pemerintah sebagai dewa penolong justru menjadi pisau bedah bermata dua bagi recovery perekonomian nasional. Oleh karena itu perlu dicari sumber pendanaan lain secara permanen yang mampu mendanai kebutuhan-kebutuhan masyarakat miskin Indonesia.
Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, Lahirnya Undang-undang No.41 tahun 2004 tentang Wakaf yang diikuti gerakan wakaf uang akan dapat melengkapi UU No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, dimana zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Disamping itu juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat Nomor 38 tahun 1999. Departemen Agama sebagai otoritas keagamaan dan saat ini juga otoritas administrasi wakaf secara proaktif telah memintakan fatwa kepada DSN mengenai status hukum wakaf tunai guna penyempurnaan PP No. 28 Th 1977 agar lebih akomodatif dan ekstensif.
Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen pendanaan seperti Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS) yang kita kenal sebagai sumber dana membantu kaum dhuafa/fakir miskin dan korban bencana. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan sendiri-sendiri. Selain instrumen yang telah ada tersebut tentunya sangat mendesak dan krusial dibutuhkan suatu pendekatan baru dan inovatif dalam instrumen keuangan sebagai pendamping untuk optimumnya mobilisasi dana umat. Bukankah Nabi saw bersabda bahwa selain zakat ada kewajiban lain dalam harta kita. Tujuan utamanya adalah bagaimana mencari solusi alternatif pendanaan bagi peningkatan kesejahteraan sosial segenap rakyat Indonesia yang melengkapi sistem pendanaan yang telah ada selama ini sehingga dapat mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Dalam konteks ini, Indonesia saatnya belajar dari negara Bangladesh tempat kelahiran instrumen eksperimental melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) yang menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, melalui mekanisme produk funding baru yang berupa sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam Instrumen keuangan baru ini sertifikat wakaf tunai merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis serta partisipasi aktif dari seluruh warga negara surplus likuiditas untuk berbagi kebahagiaan dengan saudaranya dalam menikmati pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan yang baik.
Dengan tidak terlalu menggantungkan diri dengan anggaran pemerintah dan pinjaman asing maka diharapkan dengan penerapan instrumen sertifikat wakaf tunai ini mampu menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan sosial (M.A.Mannan, 1999). Efek kemaslahatan dari SWT tersebut yang sudah mulai terasa di Bangladesh adalah meskipun negara ini masih tergolong miskin, namun dapat dilihat betapa fasilitas pendidikan dan kesehatan jauh lebih baik dari Indonesia.
Jutaan manusia di negara-negara berkembang seperti Indonesia menggunakan seluruh hidupnya untuk membayar hutang yang diwariskan kepada mereka dan terperangkap dalam hutang secara massif (debt trap). Upah dan gaji mereka umumnya sangat rendah dibandingkan biaya hidup dan memaksa mereka hidup dibawah standar normal. Pembayaran angsuran bunga hutang luar negeri yang berat secara terus menerus terbukti merendahkan standar kehidupan masyarakat serta menghancurkan pendidikan anak-anak Indonesia dan memperlemah perekonomian negara. Instabilitas politik memperkeruh suasana ditambah beberapa kejadian disintegrasi bangsa seperti di Maluku, di Sulawesi, Aceh, dan berbagai daerah lainnya pada awal tahun 2001, yang juga menimbulkan banyak kerugian moril dan materil yang pada akhirnya meningkatkan jumlah rakyat miskin.
Selama ini sumber dana untuk pengentasan kemiskinan bersumber antara lain dari : 1. Pemerintah, yang disalurkan melalui departemen-departemen dan pemerintah daerah (pemda) masing-masing. 2. Pihak luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan ada yang disalurkan secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. 3. Perusahaan swasta, yang disalurkan melalui badan-badan amal, yayasan-yayasan, dll. 4. Masyarakat, dikumpulkan melalui BAZIS (Badan Amal Zakat, Infak dan Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat. Selain itu dana masyarakat tersebut ada yang disalurkan langsung kepada masyarakat lain yang membutuhkan. Disamping itu dalam masyarakat Islam dikenal Wakaf, yaitu pemberian tanah atau bangunan yang digunakan sepenuhnya untuk masyarakat sekeliling tanah/bangunan dimana wakaf tersebut berdiri. (Masyitha, 2001)
Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini untuk menyediakan dana bagi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat Indonesia, timbul suatu ide untuk mencari alternatif sumber pendanaan lain yang lebih bersifat non formal yaitu dengan menggalang dana dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Partisipasi aktif dari segenap rakyat Indonesia yang mempunyai kelebihan rezeki sangat diharapkan untuk memperbaiki keadaan sekarang ini. Kalau hanya menunggu bantuan pemerintah melalui lembaga-lembaganya seperti departemen-departemen yang masih terikat dengan ketatnya birokrasi, tidak akan efektif.
Berbagai pihak yang sangat peduli dengan situasi ini berusaha menggalang dana dengan berbagai cara, seperti Lembaga Amil Zakat Nasional; Rumah Zakat Indonesia Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Baitul Maal Muamalat, Pundi Amal SCTV, RCTI Peduli, Dompet Amal Pikiran Rakyat, dll atau melalui badan Amil Zakat Nasional (Baznas) maupun Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang kesemuanya itu tidak lain merupakan partisipasi aktif dan ketulusan serta cinta kasih yang sangat mendalam dari sebagian rakyat Indonesia terhadap saudara sebangsa dan setanah air dengan tidak memandang perbedaan agama, suku dan ras.
Berdasarkan fenomena diatas, maka dapat dikatakan bahwa potensi dana masyarakat sangat besar untuk dapat mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Berbagai badan amal yang telah ada tersebut, selain mempunyai kelebihan masing-masing, juga mempunyai banyak kelemahannya, seperti; 1. Badan amal tersebut biasanya didirikan secara sporadis ataupun insidentil dan kurang terkoordinasi meskipun sekarang sudah ada badan apembiayaanasi nasional untuk lembaga penghimpun dana sosial. 2. Kurang sistematis dan koordinasinya pendistribusian bantuan antara badan amal yang satu dengan badan amal yang lain. Sehingga menimbulkan ketidakmerataannya bantuan tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan. 3. Bila berwakaf dalam bentuk properti, hanya masyarakat disekitar properti itu saja yang dapat menikmati dan kuran menyebar distribusi manfaatnya. 4. Perangkap kemiskinan di Indonesia ini hanya dapat diatasi dengan meningkatkan pendapatan dan kemampuan masyarakat/sumber daya manusia. Sehingga kalau hanya ikan yang diberikan bukan kail-nya, jangan harap kemiskinan ini akan dapat dientaskan di bumi Indonesia. 5. Bantuan dari badan sosial diatas kebanyakan efektif untuk membantu dalam jangka pendek saja tetapi kurang terprogram untuk jangka panjang (long term).
Dari berbagai paparan diatas, keberadaan model wakaf tunai dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat mengisi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada. Dalam ajaran Islam, ada yang dikenal dengan Wakaf. Penyaluran Wakaf ini sudah berlangsung sangat lama di Indonesia. Wakaf menurut PP no. 28 Th 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pemberi bantuan Wakaf yang disebut Wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Biasanya wakaf ini berupa properti seperti mesjid, tanah, bangunan sekolah, pondok pesantren, dll. Sementara, kebutuhan masyarakat saat ini sangat besar sehingga mereka membutuhkan dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan prinsip Wakaf tersebut dibuatlah inovasi produk Wakaf yaitu Wakaf Tunai yaitu Wakaf tidak hanya berupa properti tapi wakaf dengan dana (uang) secara tunai. Sebenarnya ide dasar yang dirumuskan oleh Prof. DR. M.A.Abdul Mannan dan telah diterapkan melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh ini telah lama dilakukan di Indonesia oleh organisasi dan lembaga sosial keislaman dalam bentuknya yang tradisional seperti pembelian wakaf per meter untuk pembebasan sebidang tanah guna pendirian maupun pengembangan lembaga sosial maupun pendidikan dengan menerima bukti (tanda) pembelian tertentu. Namun wakaf yang ada lebih bersifat konsumtif sosial (voluntary sector) dan belum berkembang menjadi produktif komersial yang berefek sosial dari return yang hasilnya untuk mustahiq.
Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil yang akan dinikmati oleh orang yang membutuhkan. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif. Dana yang dapat digalang melalui Sertifikat Wakaf Tunai ini nantinya akan dikelola oleh suatu manajemen investasi. Manajemen investasi dalam hal ini bertindak sebagai Nadzir (pengelola dana wakaf) yang akan bertanggung jawab terhadap pengelola harta wakaf.
Persoalannya sekarang bagaimana model dan mekanisme penerapan Sertifikat Wakaf Tunai ini dapat diterapkan di Indonesia dengan melibatkan infrastruktur yang sudah ada sebelumnya dan menyesuaikannya dengan struktur masyarakat dan kebudayaan Indonesia itu sendiri. Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan kelompok terhadap status hukum wakaf tunai seperti kalangan madzhab Syafi’i yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat mendesak untuk dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early warning untuk mengontrol dan menghindari resiko pengurangan modal wakaf dalam konteks risk management meskipun dananya diputarkan dalam investasi sector riil, disamping alternatif menggunakan cara konvensional asuransi dan penjaminan syariah.
Tergalinya potensi dana wakaf yang dahsyat sangat diharapkan melalui impelemntasi Sertifikat Wakaf Tunai yang menyejahterakan masyarakat secara terkoordinatif, sinergis, sitematis dan professional. Disamping profesionalisme, tantangan integritas amanah dan kepercayaan (trust) bagi pengelolaan dana sosial (volunteer) menjadi pemikiran bersama untuk mewujudkan bentuk yang fit and proper bagi penerapan konsepnya. Bukankah Allah selalu menjanjikan keberkahan dan kemaslahatan dalam sistem sedekah pengganti system ribawi yang eksploitatif dan memonopoli modal. Bukankah Allah juga menjanjikan keberkahan dan kemitraan dan kebersamaan. Marilah kita gagas dan wujudkan bersama. Semoga, amin. Wallahu A’lam. Wabillahit Taufiq wal Hidayah. Al-Ustadz Setiawan Budi Utomo

Comments :

0 komentar to “Wakaf Uang dalam Perspektif Syariah dan Ekonomi”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE