Monday, April 20, 2009

Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam


Dalam rangka mendalami hakekat emansipasi wanita dalam pespektif Islam sebagai refleksi Hari Kartini, kami turunkan tulisan tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Islam untuk menjadi bahan perenungan.

KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
Oleh : Anjar Nugroho

1. Dalam kitab-kitab klasik yang menjelaskan dan menafsirkan teks-teks ajaran Islam tidak asing lagi bahwa kaum laki-laki digambarkan lebih superior dari kaum perempuan. Biasanya argumen penguatan supremasi tersebut menggunakan ayat al-Qur’an Surat an-Nisa’ 4 : 34. Penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dalam situasi sosio kultural pada waktu penafsiran itu dilakukan. Pada saat ini dimana kedudukan dan peranan perempuan dengan laki-laki berkompetisi sama, maka tafsir-tafsir lama perlu dibongkar khususnya dari pandangan yang missoginis, yaitu pandangan yang membenci perempuan. Allah berfirman dalam al-Qur’an :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
1)
2. Para mufassir memberikan penjelasan yang beraneka ragam tentang kata-kata ‘qawwâmûn’. Al-Thabari menegaskan bahwa qawwâmûn berarti penanggung jawab. Ini artinya bahwa laki-laki bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun kepada istrinya. Ibnu Abbas mengartikan qawwâmûn adalah laki-laki memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mendidik perempuan. Zamakhsyari menekankan bahwa kata-kata qawwâmûn mempunyai arti kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan sebagaimana kepada rakyatnya.2)
3. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki adalah penanggung jawab, penguasa, pembimbing, pelindung kaum perempuan (istri). Dengan demikian, bahwa posisi laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri) adalah posisi superior dan inverior. Dengan begitu laki-laki secara otomatis menjadi pemimpin keluarga, dan istri atau perempuan harus menerima posisi suami tersebut yaitu sebagai orang yang dipimpin.
4. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam pandangan beberapa ulama tidak hanya sebatas dalam lingkup keluarga. Tetapi meliputi pula kepemimpinan dalam masyarakat (kepemimpinan publik) dan politik. Sehingga perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengaktualisasikan potensinya sebagai pemimpin.
5. Masdar Farid Mas’udi mengakui adanya pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa perempuan tidak diperbolehkan (diberangus hak-haknya) sebagai pemimpin. Pemberangusan Kepemimpinan perempuan, demikian kata Masdar, ini terjadi demikian menyeluruh, mulai dari kepemimpinan dalam kehidupan intelektual, sosial, kepemimpinan dalam keluarga sampai kepemimpinan shalat. Hal itu dikarenakan, lanjut Masdar, tidak ada satu ayat dan hadist pun yang tidak diragukan keshahihannya secara definitif melarang kepemimpinan kaum perempuan, bahkan dalam ketiga sektor kehidupan tadi. Lalu Masdar menyebut sebuah hadis yang berbunyi :
Masdar menilai, inilah hadis yang selama ini dijadikan pegangan untuk melarang perempuan tampil sebagi pemimpin masyarakat, mulai dari lembaga kemasyarakatan sejenis yayasan, ormas (kecuali yang berstatus underbow) sampai dengan kepemimpinan politik, khususnya kepemimpinan negara (al-imâmah al-uzma).
3)
4. Mustafa Muhammad Imarah dalam catatan pinggirrnya terhadap kitab Jawahir al-Bukharî, mengklaim larangan kepemimpinan perempuan itu sebagai pendirian jumhur ulama kecuali al-Tabari dan Abu Hanîfah untuk bidang-bidang tertentu.4)
5. Larangan kepemimpinan perempuan yang diungkapkan oleh sebagian ulama dikarenakan laki-laki memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh perempuan. Dimana kelebihan tersebut menentukan kapabilitas seseorang untuk menjadi pimpinan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansari al-Qurtubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, bahwa laki-laki memiliki kelebihan dalam akal dan pengaturan. Karena itu, demikian dijelaskannya, mereka memiliki hak memimpin perempuan. Dikatakan pula, bahwa laki-laki memiliki kekuatan dan kejiwaan dan naluri (tab’), dua hal yang tidak dimiliki oleh perempuan, yang dikarenakan dalam diri laki-laki dominan unsur panas dan kering (al-harârah wa al-yabûsah), dari sinilah kemudian muncul kekuatan itu. Sementara watak perempuan lebih dominan unsur basah dan dingin (al- ruthûbah wa al-burûdah), dan dari sini muncul makna kelembutan dan kelemahan.5)
6. Kelebihan laki-laki atas perempuan juga dituturkan oleh Zamakhsyari, seorang pemikir Mu’tazilah. Dia mengatakan, bahwa kelebihan laki-laki adalah pada akal (al-‘aql), ketegasan (al-hazm), tekad yang kuat (al-‘azm), kekuatan (al-quwwah), secara umum memiliki kekuatan menulis (al-kitâbah), dan keberanian (al-furûsiyah). Karena itu demikian lanjut Zamakhsyari, dari laki-laki lahir para Nabi, ulama, kepala negara (imâmah kubra), imam dan jihad.
6)
7. Ibnu Katsir, ulama tafsir klasik juga berpendapat tentang kelebihan laki-laki atas perempuan yang mempengaruhi keabsahan kepemimpinan perempuan. Dia mengatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin perempuan, dan laki-laki juga sebagai pembesar, hakim, pendidik perempuan jika perempuan menyimpang. Firman Allah yang berbunyi “Oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka di atas sebagian yang lain” ditafsirkan oleh Ibnu Katsir sebagai petunjuk laki-laki lebih utama dari perempuan dan lebih baik. Oleh karena itulah Nabi dikhususkan untuk laki-laki, begitu pula kekuasaan tertinggi. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW : “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan pimpinannya kepada kaum perempuan”. Hadis ini diriwayatkan oleh Abi Bakrah dari bapaknya.7) Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan tersebut adalah dengan sendirinya (fi nafsihi).
8. Patut dipertanyakan pendapat para ulama yang telah menafsirkan qawwam dengan penguasaan/kepemimpinan laki-laki atas perempuan, sehingga konsekwensinya perempuan sampai kapanpun tidak akan pernah mendapatkan haknya untuk berkiprah dalam dunia kepemimpinan. Memang secara bahasa qawwam dapat diartikan sebagai musallith/penguasa. Akan tetapi, mengapa dua kata yang sama di ayat yang lain yang tidak bicara soal hubungan suami istri - dan memang hanya ada di dua tempat - diartikan qâim(in), yang berarti penguat atau penopang. Dua ayat tersebut adalah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
9)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَ0ّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ10)
9. Sehingga, dapat dijelaskan bahwa dalam An-Nisa’ 4 : 34, jika qawwam diartikan dengan sama, penopang atau penguat, maka ayat tersebut akan berarti bahwa kaum lelaki adalah penganut/penopang kaum istri dengan bukan karena nafkah yang mereka berikan. Dengan pengertian yang seperti ini, maka secara normatif sikap suami terhadap istri bukanlah menguasai atau mendominasi dan cenderung memaksa, melainkan mendukung dan mengayomi.
10. Mendukung pendapat di atas, Quraish Shihab mengemukakan hak-hak yang dimiliki oleh perempuan baik dalam lingkup keluarga, masyarakat maupun bangsa dan negara, dengan mengutip sebuah ayat yang seringkali dikemukakan oleh para pemikir Islam dalam kaitannya dengan hak-hal politik kaum perempuan. Ayat tersebut adalah ayat 71 surat Al-Taubah yang berbunyi :
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
11. Secara umum, Quraish menjelaskan, ayat di atas difahami sebagai gambaran tentang kewajiban melakukan kerjasama antar laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan yang dilukiskan dengan kalimat menyuruh mengerjakan yang ma’rûf dan mencegah yang munkar. Kata auliyâ’, dalam pengertian yang disampaikan Quraish, mencakup kerjasama, bantuan dan penguasaan, sedangkan pengertian yang dikandung oleh “ menyuruh mengerjakan yang ma’rûf “ mencakup segala kebaikan atau perbaikan kehidupan, termasuk memberikan nasehat (kritik) kepada penguasa.
11)
12. Dalam kepemimpinan publik, terdapat ruang yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam haknya menjadi pemimpin satu dengan yang lainnya. Penulis tidak sependapat dengan para ulama yang menyatakan bahwa dalam soal kepemimpian adalah menjadi hak mutlak laki-laki dengan merujuk kepada surat An-Nisa’ ayat 34. Kami menilai bahwa ayat tersebut turun dalam konteks kehidupan keluarga dan bukan dalam konteks yang luas dari itu. Biarpun demikian, walaupun dalam konteks keluarga pun tidak boleh terjadi dominasi laki-laki (suami) atas perempuan (istri).
DAFTAR PUSTAKA
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-Qur’an, Kairo : Dâr Al-Katib Al- Arabi, 1967
Abu Qasim Jarullah Mahmud Ibn Umar az-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-Khasysyaf ‘an Haqâiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqâwil fi Wujûh at-Ta’wîl , Beirut, Dâr al-Fikr, cet 1977.
Faiqoh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam Perspektif Pemikiran Konservatif”, dalam Tim Editor PSW UII, kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik Perempuan, Pendekatan Fiqih Perempuan, Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII, 1998
Fatima Mernissi, Ratu-Ratu Islam yang Terlupakan, Alih bahasa oleh The Forgentten Queens of Islam, Bandung : Mizan, 1994
Ibnu al-Arabi, Ahkâm Al-Qur’an, Beirut : Dâr al-Ma’rifah, tt.
Ibnu Kasir, Tafsîr al-Qur’ân Al-Azîm, juz I,
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, 1998
Mustafa Muhammad Imârah, Jawâhir al-Bukhârî, Surabaya : Penerbit Al-Hidayah, tt.
1) An-Nisa’ (4) : 34
2) Faiqoh, “Kepemimpinan Perempuan dalam Teks-Teks Ajaran Agama dalam Perspektif Pemikiran Konservatif”, dalam Tim Editor PSW UII, kumpulan makalah seminar Penguatan Peran Politik Perempuan, Pendekatan Fiqih Perempuan, (Yogyakarta : Lembaga Penelitian UII, 1998), hlm. 43-44
3) Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak …. hlm. 58 - 59
4) Mustafa Muhammad Imârah, Jawâhir al-Bukhârî, (Surabaya : Penerbit Al-Hidayah, tt.) hlm. 367
5) Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Ansâri al-Qurtubi, Al-Jamî’ lî Ahkâm al-Qur’an, (Kairo : Dâr Al-Katib Al- Arabi, 1967), V : 169
6) Zamakhsyari, Al-Khasysyaf, (Teheran : Intisyarat Aftab, tt.), I : 523
7) Ibnu Al-Arabi, Ahkâm Al-Qur’an, (Beirut : Dâr al-Ma’rifah, tt.), I : 416 Ibnu Kasir, Tafsir Al-Qur’an Al-Azîm … I : 608
9) An-Nisâ’ (4) : 135
10) Al-Mâidah ( 5) : 8
11) M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. XVIII (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 272 - 273


Comments :

0 komentar to “Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE