Sunday, April 12, 2009

HARI KARTINI ANTARA MITOS, DISTORSI DAN SPIRIT ISLAM


Kaum wanita Indonesia sejak lama semestinya menyadari sejauh mana relevansi Hari Kartini yang senantiasa dirayakan setiap tanggal 21 bulan April, dengan nilai-nilai dan peran serta perjuangan kaum wanita di Indonesia. Sebab pesan dan nilai yang tertangkap salama ini justru semacam distorsi transformasi nilai di tengah kaum wanita Indonesia yaitu cenderung terjebak dalam pola pemberontakan emosional, ekspresi formalitas simbolis, budaya wanita kejawenisme dengan penampilan konde, kebaya dan busana feodalistik yang transparan yang justru melecehkan harkat kaum wanita. Cilakanya, justru penampilan busana tersebut dijadikan pakaian resmi nasional bagi wanita Indonesia pada masa Orde Baru. Padahal sebagai kaum wanita di Indonesia yang mayoritas beragama Islam seharusnya tidak dapat dilepaskan dari identitas muslimah termasuk komitmen dalam berpakaian islami. Yang menjadi persoalan adalah bagaimanakah hukumnya merayakan Hari Kartini bagi kaum wanita muslimah, bagaimakah hukum keterlibatan muslimah dalam acara lomba ‘Putri dan Wanita Indonesia’ untuk memeriahkan Hari Kartini, bolehkah kita memakai atribut ‘Wanita Indonesia’ lengkap dengan stelan kebaya dan konde serta rias wajahnya.

Ketetapan hukum syariah tentang segala sesuatu memerlukan kejelasan dan pengetahuan masalahnya (al-hukmu ‘ala syai’ far’un ‘an tashawwurih). Jika yang dimaksudkan dengan Peringatan Hari Kartini adalah menghayati nilai-nilai luhur wanita, mengenang peranan dan perjuangan kaum wanita untuk mengangkat harkat dan martabat kaum wanita, serta membela dan memperjuangkan hak-hak, kesucian, dan kemuliaan kaum wanita dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan syariah, maka hal itu diperbolehkan bahkan termasuk amal kebaikan yang dibolehkan Islam sebagai sarana nasehat dan media peringatan (dzikra) kepada kebaikan atau kebenaran.

Islam sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin (pembawa kasih sayang bagi seluruh alam semesta) sangat menghargai, membela, memperjuangkan kedudukan kaum wanita serta mengembalikannya ke posisi yang paling mulia, baik sebagai individu anggota masyarakat, anak, ibu maupun istri. Demikian pula hak-hak wanita termasuk pendidikan adalah dijamin penuh oleh Islam bahkan menjadikannya sebagai kewajiban yang harus ditunaikan. (HR. Muslim) Imam Ibnu Rusyd berkata: “Prinsipnya bahwa hukum kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, kecuali ada ketetapan khusus syariah tentang perbedaan yang menjadi kekhsusan masing-masing keduanya.” (Bidayatul Mujtahid: I/172)

Allah SWT. berfirman: “Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa’:124)

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’:32)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan)dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).” (QS. Al-Hujurat (49):11).

Sabda Nabi saw.: “Dan wanita menjadi pemimpin atas rumah tangga suaminya dan atas anaknya, maka ia harus bertanggung jawab terhadap mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Wanita dalam Islam adalah mitra pria bukan ‘lawan jenis’ yang cenderung bernuansa rivalitas dan kontradiksi melainkan filosofinya adalah prinsip pasangan yang saling melengkapi dan membutuhkan. Firman Allah swt.: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi mitra dan penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar..” (QS.At-Taubah:71).

Teladan Nabi saw dalam memperlakukan wanita muslimah dapat dijadikan pedoman dan acuan dalam memperjuangkan hak-hak kaum wanita. Dalam pendidikan contohnya, Nabi saw ketika mengira bahwa jama’ah wanita tidak bisa mendengar khutbah beliau, maka beliau menghampiri jama’ah wanita dan memberikan nasihat khusus kepada mereka.

Beliau merasa menyesal ketika seorang wanita dikuburkan tanpa sepengetahuan beliau, lalu beliau pergi bersama beberapa orang sahabat untuk menshalatinya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa ketika seorang wanita kulit hitam tukang sapu masjid meninggal dunia dan tanpa sepengetahuan Rasulullah saw dikuburkan. Nabi merasa menyesal dan kehilangan seraya mengatakan: “Mengapa kalian tidak memberitahuku tentang kematiannya? Sekarang tunjukkan padaku di mana kuburannya.” Nabi saw kemudian mendatangi kuburannya lalu menshalatinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan perlakuan bijak dan arif Nabi saw terhadap wanita tersebut bukan hanya kepada muslimah bahkan terhadap wanita non-muslimah sekalipun. Beliau tidak menghiraukan cemoohan seorang wanita dimana ketika beliau sakit sehingga tidak bisa mengerjakan shalat malam selama dua atau tiga malam. Datanglah kepadanya seorang wanita kafir dan berkata: ‘wahai Muhammad, aku benar-benar berharap semoga setanmu telah meninggalkanmu. Aku tidak pernah melihatnya mendekatimu sejak dua atau tiga malam terakhir ini.’ Lantas Allah menurunkan ayat yang berbunyi ‘Demi waktu matahari sepenggalan naik, dan demi malam bila telah sunyi, Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tiada (pula) benci kepadamu’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam suatu peristiwa Rasulullah saw bersedia menerima dan menghargai hadiah seorang wanita Yahudi meskipun hadiah itu berupa makanan yang diracuni kemudian beliupun memaafkannya. (HR. Bukhari dan Muslim). Nabi Saw secara tegas melarang para mujahidin untuk membunuh kaum wanita dari kalangan musuh. (HR. Bukhari dan Muslim).

Allah telah menyediakan kesiapan fitri untuk mencapai kesempurnaan pada diri laki-laki dan wanita. Kesempurnaan tidak mustahil sama sekali bagi wanita dan bukan hanya monopoli kaum laki-laki. Jika kesempurnaan itu secara fitrah bisa dicapai kaum wanita, maka lebih mungkin lagi dicapai dengan pendidikan, bimbingan, upaya dan usaha pencapaian yang sungguh-sungguh, seperti halnya pada kaum laki-laki. Karena itu, kaum wanita perlu sekali memperhatikan unsur usaha tersebut untuk mencapai kesempurnaan yang didambakan. Penting sekali bagi mereka membuka peluang-peluang pendidikan dan bimbingan serta semua bidang yang dapat mengangkat kemampuan dan harkat kaum wanita.

Dalam buku Tahrirul Mar’ah fi ‘Ashrir Risalah, Abdul Halim Abu Syuqqah menegaskan bahwa semestinya wanita mendapat peluang yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran dengan memperhatikan peluang atau kesempatan yang sesuai dengan kondisi kewanitaannya, baik menyangkut waktu, tempat maupun caranya. Bagaimanapun sangat disayangkan bahwa banyak dari sistem yang ada dirancang hanya berdasarkan kondisi kaum laki-laki tanpa mempertimbangkan kondisi kaum wanita.

Peringatan hari Kartini yang dipahami dan dirayakan dengan berbagai hal seperti yang selama ini berlangsung bertentangan dengan syariah bahkan kontradiksi dengan cita-cita Kartini sendiri yang dikenal dalam sejarah sesungguhnya sebagai penganjur moralitas wanita yang berbasis pada spirit Islam justru sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai luhur kaum wanita diantaranya berupa pakaian dan penampilan jahiliyah yang dilaknat Rasulullah. Merayakan Hari Kartini ala jahiliyah seperti ini secara syariah hukumnya haram (QS.Al-ahzab:33). Dalam hal ini, para penyelenggara, peserta, penyumbang maupun pemrakarsa dan semua yang terlibat di dalamnya telah berpartisipasi dalam dosa. Disamping dosa kemaksiatan, juga dosa penyelewangan (distorsi) sejarah serta pembodohan masyarakat dengan busana simbolis yang menyesatkan dengan atribut simbolis yang notabene jahiliyah. Termasuk dalam hal ini adalah hukum syariah keterlibatan muslimah dalam acara lomba ‘Putri dan Wanita Indonesia’ dikembalikan kepada bentuk acara tersebut dan kerangka peringatan Hari Kartini, apakah berpola jahiliyah ataukah kembali kepada semangat awalnya yang islami dalam keterbatasan budayanya saat itu untuk memperjuangkan moralitas, pendidikan agama dan pengetahuan umum serta perlindungan terhadap hak-hak kaum wanita.

Masalah busana wanita Indonesia harus didudukkan dalam paradigma umumnya, artinya bahwa sebagai kaum muslimah Indonesia harus mempertahankan dan tetap komitmen dengan busananya yang dibenarkan syariat Islam dan tidak boleh tunduk kepada dogma tradisi pra Islam di nusantara, doktrin serta paradigma sekuler yang menentukan bahwa yang diakui sebagai ‘Busana Wanita Indonesia’ secara resmi adalah setelan kebaya lengkap dengan kondenya. Bila demikian maka hukumnya memakai tersebut adalah haram. Hal itu dapat kita pahami dari ketentuan syariat Islam bagi busana wanita di luar rumah dan busana pergaulan yaitu bahwa mode, corak dan bentuknya dapat bersifat dinamis, kreatif dan trendi selama memiliki kriteria umum sebagai berikut:

1. Menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, sebagaimana difatwakan Ibnu Abbas ketika menafsirkan surat An-Nur:31, demikian pula Ibnu Umar, Anas, Aisyah, dan Ibnu Hazm (Asy-Syaukani, Nailul Authar, 2/68)

2. Tidak tipis, transparan dan menampakkan bentuk badan dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh. “Dua golongan termasuk penghuni neraka yang belum pernah kulihat seperti mereka; yaitu sekumpulan orang yang selalu memegang cemeti seperti ekor sapi yang suka memukul orang, dan para wanita yang berpakaian tapi telanjang, membuka kain penutup dan berjalan melenggok-lenggok, di atas kepala mereka terdapat riasan (konde dan sebagainya) seperti mahkota sinden yang melenggok-lenggok. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya. Padahal bau surga dapat tercium dari jarak segini dan segini (dari jarak jauh).” (HR. Muslim) Maksud “berpakaian tapi telanjang” (kasiyat ‘ariyat) yaitu pakaian yang tidak berfungsi menutup aurat, sehingga sangat jelas menggambarkan bentuk tubuh dan kulit karena tipis atau ketatnya. Dikisahkan bahwa ketika seorang wanita dari Bani Tamim memasuki rumah Aisyah dengan pakaian yang sangat tipis, seketika Aisyah menegurnya: “kalau kamu seorang mukminah, maka bukan seperti ini pakaian wanita-wanita mukminah.” (HR. Thabrani) Dan ketika seorang pengantin baru wanita memakai kerudung sangat tipis dan transparan sehingga menampakkan rambutnya, Aisyah ra. berkata kepadanya: “Wanita yang memakai kerudung seperti ini berarti tidak beriman kepada surat An-Nur.” (Tafsir al-Qurthubi)

3. Tidak menyerupai pakaian khusus laki-laki (HR. Ahmad). Rasulullah melaknat laki-laki yang meniru penampilan wanita dan wanita yang meniru penampilan laki-laki (HR. Bukhari)

4. Tidak meniru dan menyerupai busana khas wanita-wanita musyrik dan kafir. (HR. Muslim) Sabda Nabi saw. : “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR.Muslim). Bahkan Umar bin Khathab secara tegas berpesan: “Janganlah kamu berfoya-foya, jangan mengenakan pakaian khas orang-orang musyrik.” (Lihat, Dr. Yusuf al-Qardhawi, Al-Halal wal Haram fil Islam, 78, Khaulah Darwis, Az-Ziyarah bainan Nisa’ ‘Ala Dhauil Kitab was Sunnah, 98)

Selain itu, dalam penampilan perayaan Hari Kartini, perlu diperhatikan hal-hal yang diharamkan syariah terkait tata rias wanita diantaranya larangan Islam bagi wanita untuk menyambung rambut, seperti dengan konde atau cemara. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Asma’ binti Abu bakar ra. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya mempunyai anak putri yang menjadi pengantin dan terkena campak, sehingga merontokkan rambutnya. Apakah aku boleh menyambung rambutnya?” Rasulullah saw. kemudian bersabda: “Allah melaknat orang yang menyambung rambutnya (dengan rambut lain atau konde misalnya), dan yang meminta untuk disambungkan.” (HR, Muslim) Bahkan dalam hadist tentang “kasiyat ‘ariyat” (berpakaian tapi telanjang) diatas Rasulullah saw. mengelompokkannya termasuk penghuni neraka. Menyambung rambut termasuk perbuatan dosa dan maksiat. Siapapun yang melakukannya akan mendapat kutukan laknat, demikian pula orang yang membantu atau memberi jasa orang lain untuk menyambungkan rambutnya, maka ia juga berdosa. (QS. Al-Maidah:2) Larangan dalam hadits ini bersifat umum, baik dalam kondisi darurat, untuk acara resepsi perkawinan, perayaan hari wanita, hari Kartini, ataupun lainnya.

Tradisi menyambung rambut seperti dengan wig atau konde adalah bagian dari budaya Bani Israel sebagaimana yang ditegaskan Mu’awiyah bin Abu Sufyan ketika berada di atas mimbar di musim haji dan diperlihatkan kepadanya seorang wanita yang menyambung rambutnya, sedang dipegang oleh seorang penjaga, dengan mengatakan: “Wahai penduduk Madinah, manakah ulama kalian? Aku pernah mendengar rasulullah saw melarang wanita seperti ini, sabdanya: “Sesungguhnya Bani Israil binasa ketika wanitanya sudah bertingkah seperti ini.” (Syarh Shahihil Muslim, 14/107 )

Demikian pula larangan melukis pada wajah atau bagian tubuh wanita lainnya dan membuat tatto. Abdullah bin Umar ra. mengatakan: “Allah melaknat wanita yang bertatatto atau terdapat luikisan pada wajah atau tubuhnya, dan yang meminta dilukis atau ditatto, wanita yang mencabuti atau dicukur bulu alisnya dan yang minta dicabuti dan yang merubah kodrat ciptaan Allah.” Mengikir gigi dan mencabut atau mengerik bulu alis seperti untuk dilukis alis buatan sebagai gantinya. Ibnu Mas’ud ra. berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah saw. Melarang wanita untuk mencabuti bulu wajahnya, mengikir giginya, menyambung rambutnya dan bertatto (melukis tubuh atau wajahnya), kecuali karena suatu penyakit” (HR. Ahmad) Yang dimaksud dengan penyakit di sini adalah alasan medis seperti sakit gigi dan harus ditambal dan dikikir sebelumnya. Imam Nawawi menjelaskan bahwa pelarangan merias wajah dengan cara mengerik bulu alis atau bulu di wajah wanita adalah berlaku bagi wanita yang minta dirias (mutanammishah) maupun periasnya (namishah). Demikian pula imam Asy-Syaukani memfatwakan haramnya mencabut maupun mengerik bulu yang ada di wajah wanita, kecuali bila tumbuh kumis maupun jenggot. (Hasyiyah Ghayatul Ma’mul, ‘Ala Jami’il Ushul, 3/158)

Spirit ajaran Islam yang fleksibel tapi berprinsip (murunah fi tsabat) membuka ruang aktualisasi dan eksplorasi diri kaum wanita yang seluas-luasnya untuk kemajuan bangsa dan negara serta berpenampilan dan mempercantik diri sebagai manivestasi syukur atas nikmat potensi diri dan keindahan citpaan-Nya selama hal itu dilakukan dalam koridor syariah. Bukankah Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan. (HR.Muslim) Bahkan Allah sendiri menganjurkan kepada keindahan hakiki yaitu yang mengkombinasikan keindahan lahiriah (estetika) dengan keindahan batin yang memancar kepada akhlak (etika). (QS. al-A’raf: 31-32) Wallahu A’lam wabillahit Taufiq wal Hidayah.

Al-Ustadz Setiawan Budi Utomo

Comments :

0 komentar to “HARI KARTINI ANTARA MITOS, DISTORSI DAN SPIRIT ISLAM”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE