Monday, April 13, 2009

HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA



Perkawinan beda agama telah lama menjadi polemik dan kontroversi antar umat beragama maupun intra umat beragama. Tidak saja dalam Islam, tetapi juga di agama kristen sehingga diperlukan izin khusus dari uskup ataupun paus, demikian halnya problem sosial yang potensial timbul menjadi kekhawatiran tersendiri di semua pemeluk agama.

Perkawinan orang islam (pria/wanita) dengan orang non Islam (pria/wanita) lazimnya disebut perkawinan antar agama, lintas agama atau beda agama. Perkawinan beda agama yang dimaksud ini dapat terjadi antara; 1. calon istri beragama Islam dan calon suami tidak beragama Islam, baik dari kalangan ahlul kitab maupun umat musyrik. 2. Calon suami beragama Islam dan calon istri tidak beragama Islam, baik dari kalangan ahlul kitab maupun umat musyrik. Adapun hukum perkawinan beda agama ini dapat dirinci sebagai berikut.

Pertama; apabila perkawinan beda agama terjadi antara perempuan yang beragama Islam dan laki-laki yang tidak beragama Islam, baik calon suami termasuk pemeluk agama yang mempunyai kitab suci seperti Yahudi dan Nasrani yang disebut ahlul kitab (revealed religion), ataupun pemeluk agama lainnya yang mempunyai kitab ajaran serupa kitab suci, seperti Budha, Hindu, maupun pemeluk agama ataupun kepercayaan yang tidak punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci, termasuk di sini para penganut aliran kepercayaan, kebatinan, Animisme, Dinamisme, Ateisme, Politeisme dan sebagainya maka para ulama sepakat hukumnya haram dan tidak sah berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Baqarah ayat 221. Disamping itu juga berdasarkan ijma’ (hasil konsensus ulama) yang melarang perkawinan wanita muslimah dengan pria non-muslim apapun agama dan kepercayaannya.

Diantara hikmah yang dikemukakan sebagai pendukung alasan diharamkannya perkawinan ini adalah dikhawatirkan wanita Islam itu kehilangan kebebasan beragama dan karena lemah pendiriannya sehingga dapat mudah terseret untuk murtad mengikuti agama suaminya. Demikian pula anak keturunan yang lahir dari hasil perkawinannya dikhawatirkan akan mengikuti agama bapaknya karena posisi dominan dan otoritas bapak sebagai kepala keluarga terhadap anak melebihi ibunya. Dalam hal ini, fakta-fakta sejarah menunjukkan adanya bahaya aksi pemurtadan dan proses deislamisasi serta konversi agama melalui jalur perkawinan ini terutama yang banyak menjadi korban adalah para wanita muslimah.

Sebagai contoh pengalaman nyata yang diungkap oleh Forum Antisipasi Kegiatan Pemurtadan (FAKTA) bahwa di Indonesia telah terjadi pelanggaran etika penyiaran agama dan penyahgunaan toleransi agama sebagai kedok dan alat dalam aksi kristenisasi seperti yang terjadi pada seorang gadis muslimah di Cipayung Jakarta Timur yang semula taat agama, pada akhirnya nekad kabur dari rumahnya untuk masuk agama Kristen dan mengikuti pemuda gereja yang berhasil menjeratnya dengan tindakan pemerkosaan dan obat-obat terlarang. (Baca laporan Republika, 10 dan 12 April 1999 tentang penggunaan narkoba dan miras / NAZA oleh lembaga theologi Kristen dalam menjebak generasi muda Islam). Kasus serupa juga menimpa siswi MAN Padang dan juga terhadap siswi SPK Aisyah Padang dengan melalui drama penculikan yang tragis disertai teror dan pemaksaan untuk masuk Kristen. Demikian halnya kasus pemurtadan melalui perkawinan terjadi di Bekasi, setelah seorang pemuda Kristen berhasil mendekati gadis muslimah dan berpura-pura masuk Islam menjelang pernikahannya untuk mengelabui calon pengantin perempuan dan keluarganya. Dengan menyusun strategi yang matang ia menjebak mempelai perempuan dengan pengambilan foto kegiatan intim malam pertama mereka. Karena ketakutan akan ancaman disebarkannya gambar intim mereka tersebut terpaksa wanita itu mau dibaptis dan masuk agama Kristen akibat rekayasa pemuda aktivis gereja tersebut. Menurut tabloid SIAR edisi 43, tanggal 18-24 November 1999 dengan gencarnya gerakan kristenisasi dan pemurtadan secara sistemik, telah terjadi kemerosotan drastis jumlah penduduk RI pemeluk Islam dari 90 persen menjadi 75 persen.

Fakta dan ancaman tersebut mengingatkan kita kepada peringatan Allah SWT dalam al-Qur’an untuk senantiasa mewaspadai aksi makar dan tipudaya kaum Yahudi dan Nasrani yang tidak akan berhenti melancarkan garakan pemurtadan melalui berbagai cara dan media sampai umat Islam mengikuti agama mereka. (QS.al-Baqarah:120, An-Nisa:141).

Kedua; apabila perkawinan terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan musyrik, para ulama juga sepakat hukumnya haram dan tidak sah berdasarkan dalil di atas. Namun para ulama berbeda pendapat dalam hal ini mengenai siapa yang dikategorikan musyrikah itu. Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dengan menukil pendapat Muhammad Abduh dalam Tafsir al-Manar (VI/187) berpendapat bahwa wanita musyrikah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dari kalangan bangsa Arab karena tidak memiliki kitab suci saat al-Qur’an turun. Pendapat ini juga mengutip penafsiran klasik jauh sebelumnya yaitu tafsir dari Imam at-Tabari (225-310H). Menurut pendapat ini, kaum Majusi (Zoroaster), Konghucu, Budha dan Hindu sebagaimana dikemukakan oleh pembaharu Islam Abul A’la Al-Maududi adalah tergolong ahlul kitab karena mereka diduga pada mulanya memiliki kitab suci. Sementara menurut jumhur ulama fikih (mayoritas fuqaha) bahwa yang dimaksud dengan perempuan musyrikah tersebut adalah semua wanita kafir selain Yahudi dan Nasrani baik dari bangsa Arab maupun bangsa non Arab (‘ajam). Menurut pendapat ini bahwa semua wanita yang bukan Islam dan bukan pula Yahudi dan Kristen tidak boleh dikawini oleh pria muslim, apapun agama dan kepercayaannya, seperti wanita dari umat Budha, Hindu, Konghucu, Zoroaster, karena dikategorikan sebagai musyrikah yang haram untuk dinikahi.

Ketiga; apabila perkawinan terjadi antara laki-laki beragama Islam dan perempuan yang tergolong ahlul kitab, maka terdapat beberapa pendapat diantara ulama. Sebagian ulama termasuk dari kalangan sahabat, Umar bin Khathab ra. melarang perkawinan antara pria muslim dan perempuan ahlul kitab. Alasannya, karena Allah SWT secara umum telah mengharamkan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrikah. Menurut pendapat ini pada hakekatnya doktrin akidah dan praktek ibadah Kristen dan Yahudi itu mengandung unsur syirik yang cukup jelas, misalnya trinitas dan mengkultuskan Nabi Isa dan ibunya Maryam (bunda Maria) bagi umat Kristen, dan kepercayaan bahwa Uzair adalah putra Allah dan mengkultuskan Haikal Sulaiman as. bagi umat Yahudi (QS.al-Maidah:73, at-Taubah:30).

Sementara menurut kalangan jumhur ulama dibolehkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab. Argumen mereka adalah penjelasan spesifik yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5, perkawinan Nabi saw dengan wanita ahlul kitab yakni Mariyah al-Qibthiyah (Nasrani), perkawinan seorang sahabat senior bernama Hudzaifah bin al-Yaman dengan seorang wanita Yahudi. Menurut Sayid Sabiq, meskipun pada dasarnya tidak ada halangan bagi pria muslim untuk menikahi wanita ahlul kitab, namun tetap menjadi sesuatu yang makruh sehingga lebih baik dan dianjurkan untuk ditinggalkan bla tidak ada konsideran dan alasan syar’i yang menjadi rukhsah (dispensasi) untuk melakukannya.

Diantara hikmah yang dikemukakan oleh para ulama yang membolehkan perkawinan pria muslim dengan wanita Kristen atau Yahudi ialah; karena pada mula dan hakekatnya agama Kristen dan Yahudi itu satu rumpun dengan agama Islam, sebab sama-sama agama wahyu (revealed religion). Maka kalau seorang wanita Kristen/Yahudi kawin dengan pria muslim yang baik, taat dan kuat imannya, dapat diharapkan atas kesadaran dan kemauan sendiri wanita itu masuk Islam, karena ia dapat menyaksikan dan merasakan kebaikan dan kesempurnaan ajaran Islam, setelah ia hidup ditengah keluarga Islam. Sebab, agama Islam mengajarkan konsep dan pedoman hidup yang lengkap, mudah, toleran, fleksibel, demokratis, memuliakan kedudukan wanita, dan menghargai hak-hak asasi manusia dengan melindungi segenap kebebasan setiap individu dalam bingkai kemaslahatan yang rasionable dan penuh keadilan.

Karena itu, cukup bijaksana dan suatu ketetapan yang arif bahwa agama Islam pada dasarnya melarang perkawinan antara muslim/muslimah dengan bukan penganut Islam, kecuali dalam kondisi tertentu yang ditolerir syariah, pria muslim yang kualitas dan kadar iman dan islamnya cukup mantap, diperkenankan kawin dengan wanita ahlul kitab yang akidah dan praktik ibadahnya tidak menyimpang jauh dari Islam atau yang bukan dari kalangan aktivis fanatik agama ahlul kitab dengan disertai tujuan, misi dan usaha serius untuk membawa pasangannya kepada Islam. Fakta-fakta menunjukkan sebagaimana dikemukakan oleh Ali Ahmad al-Jurjawi dalam Hikmah at-Tasyri’ wa Falsafatuhu (1931) bahwa wanita-wanita Barat dan Timur yang kawin dengan pria muslim yang baik dan taat pada ajaran agamanya, paada akhirnya dapat terbuka hatinya dan atas kesadaran sendiri masuk Islam.

Dalam konteks perkawinan beda agama ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 1980 telah mengeluarkan fatwa bahwa seorang wanita beragama Islam tidak boleh (haram) dinikahkan dengan pria yang bukan beragama Islam; dan tidak diizinkan laki-laki beragama Islam mengawini perempuaan yang bukan beragama Islam. Fatwa tersebut didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221, surat al-Maidah ayat 5, surat at-Tahrim ayat 6 dan beberapa hadits Rasulullah Saw. diantaranya dari riwayat al-Bukhari yaitu: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan dia Yahudi atau Nasrani, atau Majusi”. Adapun pertimbangan fatwa pelarangan laki-laki muslim mengawini perempuan ahlul kitab yang meskipun menurut al-Qur’an pada prinsipnya dibolehkan adalah karena dampak negatifnya (mudharat) lebih besar dari dampak positifnya (maslahat).

Jumhur ulama yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab berbeda pendapat dalam menentukan siapa yang dimaksud dengan wanita ahlul kitab itu sendiri. Menurut Imam Asy-Syafi’i, yang termasuk wanita ahlul kitab adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan bangsa Israel (Bani Israil), tidak termasuk bangsa-bangsa lain sekalipun penganut agama Yahudi atau Nasrani berdasarkan fakta sejarah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus untuk kalangan bangsa Israel saja dan lafal “min qablikum” dalam surat al-Maidah di atas menunjuk kepada dua kelompok Yahudi dan Nasrani dari bani Israil. Imam Abu Hanifah dan sebagian besar fuqaha berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perempuan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang Nabi atau kitab yang pernah diturunkan Allah SWT.

Terlepas dari berabagai pendapat tersebut di atas, adalah patut direnungkan dan ditimbang kembali aspek mudhaharat dan maslahat yang terdapat pada perkawinan beda agama. Karena pada prinsipnya dalam menentukan hukum syariah, kita harus kembali kepada konsep maqashid asy-syariah (tujuan dan filosofi syariah) yang memuat pertimbangan dan prioritas kemaslahatan. Sehingga amat bijaksana bila pilihan hukum fikih dalam perkembangan kontemporer, hikmah dan illat hukum dibalik masalah perkawinan beda agama maka kita pada prinsipnya cenderung untuk melarangnya dan memandangnya haram sekalipun bagi perkawinan pria muslim dengan wanita ahlul kitab kecuali dalam kondisi, batas dan persyaratan tertentu, khusus untuk hal tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut;

Pertama; kaedah fiqih “Sadd Adz-Dzari’ah” yang menekankan sikap preventif dan antisipatif berdasarkan pengalaman dan analisa psikologis dan sosiologis untuk mencegah bahaya terjadinya pemurtadan dan hancurnya rumah tangga akibat konflik ideologis dan akidah akibat perkawinan beda agama. Courtenay Beale dalam bukunya Marriage Before & After mengingatkan, bahwa pasangan suami istri yang terdapat religious antagonism (konflik kepercayaan agama), misalnya perkawinan antara pria Katolik dengan wanita Protestan atau Yahudi atau agnostik, yang masing-masing yakin dan konsekuen atas kebenaran agama atau idieloginya, maka akan sulit sekali menciptakan sebuah kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia lahir-batin, karena masalah agama adalah masalah yang sangat prinsip dan sensitif bagi umat beragama.

Kedua; kaedah fikih “Dar’ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih” yang mengajarkan skala prioritas dalam menentukan pilihan hidup yaitu bahwa mencegah dan menghindari mafsadah (mudharat) atau resiko yang dalam hal ini dapat berupa kemurtadan dan broken home harus diutamakan daripada harapan dari upaya mencari manfaat dan kemaslahatan berupa menarik pasangan hidup dan anak-anak keturunan nantinya serta keluarga besar pasangan yang berbeda agama untuk masuk Islam. Hal ini juga masih terkait dengan pertimbangan kesimpulan sebelumnya bahwa perkawinan beda agama dapat berpotensi menjadi sumber konflik yang dapat mengancam keutuhan dan kebahagiaan rumah tangga serta eksistensi akidah Islam.

Ketiga; pada prinsipnya agama Islam mengharamkan perkawinan antara seorang beragama Islam dengan seseorang yang tidak beragama Islam (QS.al-Baqarah:221), sedangkan adanya izin kawin seorang pria muslim dengan seorang wanita dari ahlul kitab (Nasrani/Yahudi) berdasarkan surat al-Maidah ayat 5 itu hanyalah sebuah dispensasi bersyarat (rukhsah), yakni tergantung kualifikasi iman, Islam dan kepribadian pria muslim tersebut haruslah bagus, karena perkawinan tersebut mengandung resiko yang tinggi berupa perpindahan agama maupun perceraian serta pertaruhan agama anak keturunannya. Karena itu, dalam hal ini pemerintah memiliki otoritas untuk membuat peraturan yang melarang perkawinan beda agama antara seorang muslim/muslimah dengan seseorang non muslim/non muslimah apapun agamanya, sedangkan seluruh pihak berwenang dan umat Islam Indonesia berkewajiban untuk mentaati larangan pemerintah tersebut sebagaimana yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 ayat (c) dan pasal 44.

Berdasarkan pertimbangan yang disebutkan terdahulu dan juga berdasarkan realitas konstitusional hukum positif yaitu pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menegaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; dan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Selain itu pada pasal 66 ditegaskan bahwa setelah efektif dikeluarkannya UU tersebut, maka semua peraturan yang mengatur tentang perkawinan termasuk Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken Stbld. 1898 No.158) dinyatakan tidak berlaku. Menurut pasal 57 UU Nomor 1/1974 dirumuskan dengan jelas bahwa perkawinan campuran yang dibolehkan dan di atur adalah bukan yang dimaksudkan perkawinan dengan percampuran agama atau beda agama melainkan perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Berdasarkan semua pertimbangan tersebut diatas, telah dikeluarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991 menjadi hukum positif yang bersifat unifikatif bagi seluruh umat Islam Indonesia, dan terutama menjadi pedoman bagi para hakim di lembaga peradilan agama dalam menjalankan tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Maka dalam konteks ini, berdasarkan KHI pasal 40 ayat 9 (c), dilarang perkawinan antar seorang pria beragama Islam dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam; dan sebaliknya pasal 44, melarang perkawinan antara seorang wanita beragam Islam dengan seorang pria tidak beragama Islam.

Adapun perkawinan beda agama yang dilaksanakan kebanyakan orang di Kantor Catatan Sipil sebenarnya hal itu suatu pelanggaran ketentuan dan tetap tidak dapat merubah ketetapan hukum syariah mengenai perkawinana beda agama yakni haram. Hal itu sebenarnya dapat dilihat bahwa pada dasarnya cukup beralasan baik secara agamis maupun yuridis bahwa Direktorat Pembinaan peradilan Agama Departemen Agama telah meminta kepada pegawai Catatan Sipil agar tidak mengizinkan perkawinan antara orang Islam dengan orang non Islam di Kantor Catatan Sipil. Demikian pula patut diperhatikan dan diapresiasi permohonan Majelis Ulama Indonesia yang pernah diajukan kepada Pemerintah khususnya pemprov DKI agar menginstruksikan kepada pegawai Catatan Sipil agar tidak mengizinkan perkawinan antara orang islam dengan orang bukan Islam di Kantor Catatan Sipil.

Dengan demikian, alangkah bijaksana bila kita mengingat pertimbangan Umar bin Khathab ra. yang menegaskan agar umat Islam menghargai komunitas islamnya dalam memilih pasangan hidup. Bukankah masih banyak muslim dan muslimah yang baik-baik untuk pantas dinikahi dan adalah suatu sikap yang kurang bijaksana dan tidak adil bila meninggalkan entitas musim/ah yang shalih/ah untuk dijadikan pendamping hidup muslim/ah shalih/ah yang justru berpaling mencari pasangan hidupnya diluar komunitas umat islam. Dan sebagai pertimbangan penutup dalam hal ini patut direnungkan kembali wasiat Nabi saw. dalam mencari keberkahan rumah tangga adalah sabdanya; “pilihlah yang memiliki keberagamaan Islam yang kuat sebagai pasangan hidupmu niscaya engkau akan diberkati” (HR.Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor : 4/Munas vii/Mui/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama yang dihasilkan dari keputusan Musyawarah Nasional VII MUI pada 19-22 Jumadil Akhir 1426H. / 26-29 Juli 2005M yang sekaligus sebagai penegasan atas Keputusan Fatwa MUI dalam Munas II tahun 1400/1980 tentang Perkawinan Campuran, menetapkan ketentuan hukum bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. Demikian pula perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab merujuk qaul mu’tamad (pendapat kuat dari para ulama hukumnya haram dan tidak sah.

Keputusan MUI tersebut diambil berdasarkan pertimbangan bahwa belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama, bahwa perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat, bahwa di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan, dan bahwa untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.

Argumen yang dijadikan dasar penetapan fatwa tersebut adalah AL-Qur’an, Hadits, Kaedah Fikih sebagai berikut;

Pertama,. Firman Allah SWT :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawini-nya) , maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. al-Nisa [4] : 3);

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Rum [3] : 21);

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperlihatkan- Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. al-Tahrim [66]:6 )

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. al-Maidah [5] : 5)

Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita yang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya . Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah- Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. al-Baqarah [2] : 221)

Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Alllah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka jangalah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya diantara kamu. Dan Allah maha mengetahui dan maha bijaksana (QS. al-Mumtahianah [60] : 10).

Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, Ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah mas kawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri bukan pezina dan bukan (pula) wanita-wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separuh hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut pada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) diantaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengamun dan Maha Penyayang (QS. al-Nisa [4] : 25).

Kedua, Hadis-hadis Rasulullah s.a.w :

Wanita itu (boleh) dinikahi karena empat hal : (i) karena hartanya; (ii) karena (asal-usul) keturunannya; (iii) karena kecantikannya; (iv) karena agama. Maka hendaklah kamu berpegang teguh (dengan perempuan) yang menurut agama Islam; (jika tidak) akan binasalah kedua tangan-mu (Hadis muttafaq alaih dari Abi Hurairah r.a)

Ketiga, Qa’idah Fiqh :

Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) dari pada menarik kemaslahatan.

Demikian semoga dapat menjadi pertimbangan dalam menentukan pilihan pasangan hidup. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah.Al-Ustadz Setiawan Budi Utomo


Comments :

0 komentar to “HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE