Wednesday, April 01, 2009

Hukum Merokok Dalam Kajian Fikih [1]


Dr. KH. Ahmad Munif Suratmaputra,MA[2]

MASALAH IJTIHADI

Hukum merokok tidak disebutkan secara jelas dan tegas oleh Al-Qur’an dan Sunnah / Hadis Nabi. Oleh karena itu, fuqaha’ mencari solusinya melalui ijtihad. Sebagaimana layaknya masalah yang hukumnya digali lewat ijtihad, hukum merokok diperselisihkan oleh fuqaha’ sbb:

A. Pendapat pertama menyatakan haram (haram mutlak)

Ulama yang berpendapat bahwa merokok haram dapat kita temukan dalam berbagai mazhab. Dalam mazhab Hanafi di antaranya Najmuddin Az-Zahidi, Syekh Mahmud al-‘Ini, Abulhasan al-Misri al-Hanafi dan Muhammad al-Mar’isyi yang dikenal dengan nama Sajaqli Zadah. Dari mazhab Maliki Abdulmalik al-‘Isami, Syekh Ibrahim Allaqqani dan Syekh Khalid bin Ahmad al-Maliki. Dari mazhab Syafi’i Syekh Najmuddin al-Ghazzi. Dari mazhab Hanbali Syekh Muhammad bin Abdulwahhab dan Syekh Muhammad bin Ibrahim Mufti Arab Saudi.

Di Saudi Arabia merokok dilarang, sejalan dengan pendapat kedua tokoh fikih mazhab Hanbali ini. Sebab Saudi Arabia mengikuti fikih mazhab Hanbali yang sering disebut derngan mazhab Wahabi, sebagai nisbah dari tokoh pembaharuannya Syekh Muhammad bin Abdul Wahab.

Argumentasi mereka adalah:

1. Al-Qur’an, surat Al-A’raf ayat 157:

يأمرهم بالمعروف وينهاهم عن المنكرويحل لهم الطيبات ويحرم عليهم الخبا ئث

“Nabi itu menyuruh mereka kepada yang makruf, melarang mereka dari yang munkar, menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan melarang bagi mereka segala yang buruk.”

Merokok termasuk khabais (sesuatu yang tidak baik) yang oleh karenanya termasuk yang dilarang (haram).

2. Al-Qur’an, surat al-Isra’ ayat 26-27:

ولا تبذر تبذيرا * ان المبذرين كانوا اخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا

“Janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros”. “Sesungguhnya orang-orang yang berlaku boros itu adalah saudara-saudara syaitan. Dan syaitan itu sangat ingkar terhadap Tuhannya.”

Merokok merupakan perbuatan tabzir/menyia-nyiakan harta yang tidak ada manfaatnya yang jelas termasuk yang dilarang dan dicela oleh ayat di atas. Hadis Nabi riwayat Mughirah bin Syu’bah sercara tegas melarang menyia-menyiakan harta.

3. Hadis Nabi SAW:

ان رسول الله نهى عن كل مسكر ومفتر

“Rasulullah SAW melarang semua hal memabukkan dan yang membuat orang kecanduan.”

Seseorang yang telah biasa merokok biasanya sulit untuk meninggalkannya/kecanduan.

4. Merokok banyak menimbulkan mudlarat baik terkait dengan kesehatan maupun dengan ekonomi dan tidak ada manfaatnya. Hadis Nabi mengatakan:

لاضرر ولا ضرار

“ Tidak boleh membuat mudlarat kepada diri sendiri dan tidak boleh membuat mudlarat kepada orang lain.”

Sejalan dengan Hadis di atas, kaidah hukum Islam menyatakan:

الضرر يزال

“Yang menimbulkan mudlarat harus dihilangkan /dihindarkan.”

B. Pendapat kedua menyatakan mubah (mubah secara mutlak).

Di antara ulama yang berpendapat bahwa merokok itu mubah adalah Syekh Abdul Gahni an-Nabilisi ahli fikih terkenal dari mazhab Hanafi angkatan mutaakhkhirin, Ibnu Abidin pengarang Radd al-Muhtar ‘ala ad-Durr al-Muhtar, Syekh Ali al-Ajhuri, Syekh Manshur al-Bahuti al-Hanbali dan Syekh Jamal az-Ziyadi dari kalangan Syafi’iyah.

Diantara argumentasi mereka adalah:

1. Al-Qur’an, surat al-Baqarah ayat 29:

هو الذى خلق لكم ما فى الارض جميعا

“Allahlah yang menciptakan semua yang ada di bumi untuk kamu.”

Ayat ini menunjukkan bahwa memanfaatkan sesuatu yang diciptakan oleh Allah termasuk merokok itu dibenarkan.

2. Al-Qur’an, surat al-A’raf ayat 32:

قل من حرم زينة الله التى اخرج لعباده والطيبات من الرزق

“Katakanlah siapa yang mengharmkan perhiasan Allah yang dikeluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan rizki yang baik-baik.”

Merokok termasuk sesuatu yang baik yang tidak diharamkan. Kenapa harus kita haramkan? Ayat ini melarang kita mengharamkan yang baik-baik, termasuk merokok.

3. Kaidah Hukum Islam:

والاصل فى الاشياء الاباحة

“Pada prinsipnya segala sesuatu itu mubah.”

Merokok termasuk masalah yang tidak disebutkan hukumnya oleh Islam. Dengan demikian untuk menentukan hukumnya dikembalikan kepada hukum asal, yakni mubah sejalan dengan kaidah di atas.

4. Merokok termasuk sesuatu yang dimaafkan/mubah, sejalan dengan hadis Nabi:

الحلال ما احل الله فى كتابه العزيزوالحرا م ما حرم الله فى كتابه الكريم وما سكت عنه من غير نسيان رحمة بكم فهو مما عفا الله عنه

“Yang halal adalah yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya yang agung dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam Kitab suci-Nya. Apa yang tidak dijelaskan hukumnya bukan karena lupa sebagai kasih sayang Allah kepadamu merupakan hal-hal yang dimaafkan.”

C. Pendapat ketiga menyatakan makruh

Di antara ulama yang berpendapat makruh adalah Syekh Musthafa ar-Rahibani al-Hanbali dan Syekh Hamid bin Ali bin Ibrahim al-‘Imadi dari kalangan Hanafi. Syekh Musthafa az-Zarqa’ memandang kuat pendapat Syekh al-‘Imadi yang berpendapat makruh tersebut.

Argumentasi pendapat ini hampir sama dengan argumentasi kelompok yang menyatakan haram dengan pemahaman bahwa dlarar/madharatnya belum sampai ketingkat yang layak diharamkan.

D. Pendapat keempat menyatakan bahwa hukumnya berkisar antara haram, makruh, mubah, wajib dan sunnat, sesuai dengan kondisi perokok, illat dan dampaknya.

Pendapat ini disampaikan oleh Sayyid ‘Alawi bin Sayyid Ahmad as-Saqqaf tanpa menyebutkan siapa ulamanya.

Bisa haram merokok apabila membahayakan kondisi ekonomi atau kesehatan seseorang. Ia tak punya duit, makan saja susah. Dalam kondisi semacam ini bisa haram. Demikian seseorang yang kesehatannya akan terganggu karena merokok. Baginya bisa dihukumi haram. Bisa makruh apabila efek negatifnya tidak fatal. Bisa mubah bagi seseorang yang sehat, banyak fulus; sehingga dengan merokok, ekonomi dan kesehatannya tidak akan terganggu. Bisa sunat atau wajib sesuai dengan illat yang mlingkupinya.

Ada seseorang yang kalau merokok ia mendapatkaan inspirasi dan kuat dalam menulis karya ilmiah. Tetapi tanpa merokok penanya menjadi tumpul dan semangatnya menjadi mundur. Dalam kasus semacam ini tentu bisa wajib atau sunnat tergantung tingkat kebutuhannya.

Seorang ulama guru penulis pernah bercerita bahwa (alm) Syekh Yasin al-Fadani, seorang ulama besar Indonesia asal Padang yang mukim di Makkah kalau mengarang kitab selalu dengan merokok. Kenapa demikian? Karena dengan merokok akan mendapatkan inspirasi dan semangat. Nah orang semacam ini tentu bisa wajib dan minimal sunnat. Dengan merokok beliau tidak terganggu kesehatan dan kantongnya. Tetapi bagi orang yang sampai kecanduan atau israf dalam merokok, misalnya sehari habis sekian bungkus, tentu bisa menjadi haram...

Argumentasi kelompok ini adalah paduan dari dua kaidah:

1. Kaidah:

والاصل فى الاشياء الاباحة

2. Kaidah:

الحكم يدور مع علته وجوبا وعدما

ANALIASIS

Sebagaimana layaknya hasil ijtihad semua pendapat di atas statusnya dhanni. ٍSebab Adillah yang dipergunakan oleh masing-masing pihak dilalahnya tidak ada yang qath’i. Dalam hal ini berlakulah prinsip:

رأينا صواب يحتمل الخطأ ورأي غيرنا خطأ يحتمل الصواب

Dan kaidah:

الاجتهاد لاينقض بالاجتهاد

Masing-masing argumentasi yang mereka pergunakan mengandung kelemahan. Lebih dari itu, tidak tepat kalau dalam hal ini digeneralisasi. Sebab kondisi seseorang tidaklah sama. Dengan demikian pendapat keempat (ditafshil) layak dipertimbangkan. Untuk itu fatwa yang menyatakan haram mutlak atau mubah mutlak tidaklah tepat.

Sisi lain yang perlu kita pertimbangkan adalah terjadinya polarisasi di masayarakat antara yang menghendaki diharamkan dan sebaliknya. Hal ini perlu menjadi pertimbangan tersendiri. Demikian juga seandainya kita mengambil pendapat yang menyatakan haram mutlak ada yang perlu kita pertimbangkan. Pertama akan efektifkah fatwa itu atau hanya akan menjadi fatwa yang mubazir. Kedua, seandainya benar-benar dipatuhi bagaimana nasib sekian banyak karyawan pabrik rokok yang harus ditutup karena mematuhi fatwa MUI? Bagaimana nasib sekian banyak petani tembakau yang kebanyakan muslim?

Sisi lain yang menjadi bahan pertimbangan ialah kendati merokok itu jelas mengganggu dan membahayakan kesehatan tetapi kita tidak pernah mengetahui secara pasti apakah seseorang itu meninggal gara-gara rokok atau karena faktor yang lain. Kyai-Kyai kita banyak yang menjadi perokok berat, tetapi kok sehat-sehat saja dan umurnya juga panjang. Demikian juga kendati merokok itu mengandung aspek negatif terkait dengan ekonomi dan keuangan, tetapi kita belum pernah mendengar ada orang jatuh miskin gara-gara rokok.

Yang jelas, rokok mengandung nekotin yang membahaykan kesehatan. Dan perokok tanpa disadari telah membakar sekian fulusnya secara sia-sia. Pabrik rokok membuka lapangan kerja dan cukai yang cukup besar. Rokok dan merokok memang ada manfaat dan ada mafsadatnya. Mana yang lebih besar di antara keduanya perlu diadakan penelitian, agar ijtihad untuk menentukan hukumnya mendekati kebenaran..

KESIMPULAN

Bahwa rokok banyak mengandung mudlarat baik terkait dengan kesehatan atau keuangan diakui oleh banyak pihak. Tetapi memastikan bahwa hukumnya haram untuk semua orang memang aplikasinya bisa menjadi sulit. Apalagi dalil yang dijadikan landasan bagi mereka yang menyatakan haram tetap mengandung sisi-sisi kelemahan dalam istidlal.

Demikian juga menyatakan secara pasti hukumnya mubah atau makruh bagi setiap orang juga sulit dalam aplikasinya, mengingat kondisi seseorang tidak selalu sama; sehingga hukum yang akan dikenakan kepadanya pun tidak dapat disamakan. Apalagi hal ini merupakan hasil ijtihad yang statusnya tetap dhanni. Sisi lain dari segi argumentasi juga mengandung kelemahan. Untuk itu menurut hemat penulis, pendapat keempat (ditafshil) lebih bisa kita tertima. Dari sinilah maka masalah rokok menurut hemat penulis tidak perlu difatwakan. Akan lebih bagi kalau Ulil Amri/pemerintah yang mengaturnya agar dampak negatifnya bagi kepentingan umum dapat dihindarkan, paling tidak diminimalisir. Untuk itu pemda yang telah memiliki perda tentang merokok, seperti DKI perlu diefektifkan dan bagi pemda yang belum mempunyai diimbau agar segera memiliki perda tentang aturan merokok dan dilaksanakannya secara konsisten serta kosekuen.

Wallahu A’lam..

MARAJI’

1. Hasyiah Ibnu Abidin juz I

2. Majid Abu Rahiyyah, Al-Asyribah wa-Ahkamuha fisysyari’ah al-Islamiyah

3. Abu Sari’ Muhammad Abdulhadi, Al-Ath’imah wazzabaih fil-Fiqh aal-Islami

4. Ahmad Asy-Syarbahi, Yasalunaka fiddin wal-Hayah

5. Yusuf al-Qaradlawi, Al-Halal wal-Haram fil-Islam

6. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Aththariqi, Ahkam al-Ath’imah fisysyari’ah al-Islamiyah

7. Muhammad Athiyah Shaqar, Ahsan al-Kalam fil-Fatawa wal-Ahkam.


[1] Makalah pendukung untuk acara Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III yang dilaksanakan pada 23 – 26 Januari 2009 di Padang Panjang Sumatera Barat.

[2] Anggota Komisi Fatwa MUI, Pembantu Rektor I IIQ Jakarta, Pimpinan Pesantren Nuruz Zahro Depok Jawa Barat.

Comments :

0 komentar to “Hukum Merokok Dalam Kajian Fikih [1]”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE