Tuesday, April 07, 2009

Menimbun Barang, Bolehkah?


Fluktuasi harga BBM yang memicu gejolak harga komoditas barang dan jasa lainnya, terutama dalam kondisi kenaikan maupun penurunan BBM seperti bensin, gas dan minyak tanah memicu praktik spekulasi dan menahan maupun menimbun BBM oleh para pegadang eceran maupun distributor. Demikian halnya yang terjadi pada fluktuasi harga komoditas barang maupun jasa yang lain. Hal itu dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai pertimbangan. Para pedagang bisa dengan motive memaksimalkan keuntungan ataupun meminimalkan kerugian. Sementara masyarakat umum sebagai konsumen memborong barang dan menimbunnya dengan motive berjaga-jaga sebelum semakin naik harganya. Sebagaimana dimaklumi bahwa Islam tidak memperbolehkan para pedagang untuk melakukan praktik penimbunan untuk tujuan spekulatif atau hording yang dalam bahasa fikih disebut ihtikar. Padahal tidak semua praktik menimbun adalah ihtikar, seperti menimbun atau menyimpan dalam jumlah diluar kebiasaan lazim harian karena untuk berjaga-jaga. Praktik ini disebut dalam bahasa fikih sebagai Iddikhar dimana Nabi Muhammad Saw serta Nabi Yusuf mengajarkan serta memberi contoh kiat hidup hemat dan menabung atau menyisihkan diluar kebutuhan konsumsi rutin persediaan untuk berjaga-jaga. Sementara, ihtikar terutama pada barang yang menjadi kebutuhan orang banyak dengan harapan mendapatkan keuntungan yang berlipat adalah perbuatan tercela dan kriminal.
Menimbun barang yang berkonotasi spekulasi dalam bahasa Arab sepadan dengan “al-ihtikar”. Kata ini bermakna azh-zhulm (aniaya) dan isaa’ah al-mu’aasyarah (merusak pergaulan). Ada beberapa definisi yang diberikan oleh ulama tentang ihtikar. Ihtikar secara bahasa menurut Imam Fairuz Abadi artinya mengumpulkan, menahan barang dengan harapan untuk mendapatkan harga yang mahal. Menurut Imam Ibn Mandzur mengumpulkan makanan atau yang sejenis dan menahannya, dengan maksud untuk menunggu naiknya harga makanan tersebut. Ada pula yang mendifinisikan sebagai menahan komoditas dan tidak menjualnya sampai harga komoditas tersebut menjadi mahal. Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan, “Penimbunan barang dagangan dari peredarannya.” Imam Ghazali mendefinisikan, “Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.” Sementara para ulama Mazhab Maliki mendefinisikan dengan, “penyimpanan barang oleh produsen: baik makananm pakaian, dan segala barang yang bisa merusak pasar.” Secara esensi ketiga definisi di atas sama, yaitu menyebut aktivitas menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan menjualnya ketika harga telah melonjak, barang itu baru dipasarkan. Namun, mengenai jenis barang yang ditimbun beda.
Ulama Mazhab Maliki, sebagian ulama Mazhab Hanbali, Imam Abu Yusuf dan Ibnu Abidin (dua nama terakhir adalah ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) menyatakan larangan menimbun tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan. Tetapi meliputi seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat. Alasannya, yang menjadi ‘ilat (konsideran hukum) dalam larangan melakukan penimbunan adalah “kemudharatan yang menimpa orang banyak”. Sebab, kemudharatan yang menimpa orang banyak itu tidak terbatas pada makanan, pakaian, dan hewan, tetapi juga mencakup seluruh barang yang dibutuhkan orang. Imam Asy-Syaukani juga tidak memerinci barang apa saja yang ditimbun, sehingga seseorang bisa dikatakan sebagai penimbun jika menyimpan barang untuk dijual ketika harga melonjak (spekulasi). Bahkan, Imam Asy-Syaukani tidak membedakan apakah penimbun itu terjadi ketika pasar berada dalam keadaan normal ataupun dalam keadaan tidak stabil. Hal ini perlu dibedakan karena menurut jumhur ulama jika sikap para pedagang dalam menyimpan barang tersebut bukan untuk merusak harga pasar, tentu tidak ada larangan. Maklum, Imam Asy-Saukani termasuk kelompok ulama yang mengharamkan penimbunan pada seluruh barang yang dibutuhkan masyarakat.
Sebagian ulama Mazhab Hanbali dan Imam Al-Ghazali mengkhususkan keharaman penimbuna pada jenis produk makanan saja. Alasannya, karena yang dilarang dalam nash al-Qur’an dan Sunnah hanyalah makanan. Menurut mereka, karena masalah ihtikar menyangkut kebebasan pemilik barang untuk menjual barangnya dan kebutuhan orang banyak, maka larangan itu harus terbatas pada apa yang ditunjuk oleh nash saja. Adapun ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Hanafi membatasi ihtikar pada komoditas yang berupa makanan bagi manusia dan hewan. Menurut mereka, komoditas yang terkait dengan kebutuhan orang banyak pada umumnya hanya dua jenis itu. Oleh karena itu, perlu dibatasi.
Dari paparan di atas, bisa kita simpulkan bahwa ihtikar adalah tindakan menyimpan harta, manfaat, atau jasa, dan enggan menjual dan melepasnya kepada masyarakat yang mengakibatkan melonjaknya harga pasar secara drastis disebabkan kelangkaan atau persediaan terbatas atau stok barang hilang sama sekali dari pasar, sementara masyarakat, negara maupun hewan amat membutuhkan produk, manfaat, atau jasa tersebut. Ihtikar tidak saja menyangkut komoditas, tapi juga manfaat suatu komoditas, dan bahkan jasa dari para pemberi jasa; dengan syarat aksi spekulasi yang dilakukan para pedagang atau pemberi jasa itu bisa membuat harga pasar tidak stabil, padahal komoditas, manfaat, dan jasa tersebut dibutuhkan oleh masyarakat.
Misalnya, pedagang sembako termasuk bahan bakar gas menjelang datangnya bulan Ramadhan menahan stok barang dagangannya dan belum mau melepasnya di pasaran karena mengetahui bahwa pada bulan Ramadhan permintaan akan meningkat karena masyarakat sangat membutuhkannya untuk kebutuhan buka puasa dan lebaran. Dengan adanya kelangkaan maka harga barang akan melonjak. Ketika memasuki Ramadhan para pedagang baru melepas stoknya ke pasar dan mereka meraup keuntungan yang tinggi.
Dasar hukum pelarangan menimbun barang untuk spekulasi diantaranya adalah kesimpulan dari nilai-nilai universal dan prinsip umum Al-Qur’an yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya diharamkan. “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” [QS. Al-Maidah (5): 2]. “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” [QS. Al-Haj (22): 78]. “Allah tidak hendak menyulitkan kamu.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. “Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” [QS. Al-Baqarah (2): 279].
Rasulullah saw. bersabda, “Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. At-Tabrani dari Ma’qil bin Yasar). Selain itu sabdanya: “Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.” (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah). Demikian pula Rasulullah saw. bersabda, “Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan dengan)-nya.” (HR. Ibnu Umar). Beliau SAW juga bersabda: “Al-jaalib diberi rizqi, sedangkan orang yang menimbun dilaknat” Dari Umar Ibn Al-Khattab RA berkata, aku mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” barangsiapa yang menimbun makanan atas kaum Muslim, Allah akan menimpakan padanya sakit lepra dan kerugian”
Larangan dalam Hadits diatas menunjukkan adanya larangan yang pasti (jaziim) artinya haram. Karena qarinah pada hadits-hadits diatas memang menunjukkan demikian. Hadits pertama misalnya, beliau menegaskan bahwa orang yang menimbun adalah orang yang salah/ khati’, pada hadits ke tiga disebutkan bahwa orang yang menimbun dilaknat. Pada hadits ke empat disebutkan bahwa orang yang menimbun makanan Allah akan menimpakan padanya penyakit lepra dan kebangkrutan. Sedangkan hadits ke lima, menyebutkan bahwa orang yang menimbun selama 40 hari berarti dia berlepas diri dari Allah dan Allah berlepas diri dari dia.
Berdasarkan ayat-ayat dan hadits di atas, para ulama sepakat bahwa ihtikar adalah perbuatan terlarang (haram). Namun, berbeda cara menetapkan hukumnya. Ulama Mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Maliki menggunakan ayat dan hadits di atas untuk menetapkan ihtikar sebagai perbuatan yang haram.
Menurut kalangan Mazhab Maliki, ihtikar hukumnya haram dan harus dicegah oleh pemerintah dengan segala cara karena perbuatan itu memberikan mudharat yang besar terhadap kehidupan masyarakat, stabilitas ekonomi masyarakat dan negara. Karena itu, pemerintah harus turun tangan untuk mengatasinya. Ini sesuai dengan kaidah fiqh: haqq al-ghair muhaafazun ‘alaihi syar’an (hak orang lain terpelihara secara syara’). Dalam kasus ihtikar, yang paling utama dipelihara adalah hak konsumen, karena menyangkut orang banyak; sedangkan hak orang yang melakukan penimbunan hanya merupakan hak pribadi. Jika kepentingan pribadi bertentangan dengan kepentingan orang banyak, maka yang didahulukan adalah kepentingan orang banyak.
Ulama Syafi’i berpendapat bahwa hadits yang menyatakan ihtikar merupakan perbuatan yang salah mengandung pengertian yang dalam. Orang yang melakukan kesalahan (khatha’) dengan sengaja berarti telah berbuat suatu pengingkaran terhadap syariat. Mengingkari syariat adalah hal yang diharamkan. Dengan demikian, perbuatan ihtikar termasuk salah salah satu perbuatan yang diharamkan, apabila dalam hadits itu pelakunya diancam dengan neraka. Ulama Mazhab Hanbali juga mengatakan ihtikar diharamkan syariat karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara. Ibnu Qudamah mengemukakan alasan, ada sebuah hadits Rasulullah saw. yang melarang melakukan ihtikar dalam kebutuhan pokok manusia. (HR. Asram dari Abi Umamah).
Imam Al-Kasani (seorang ahli fiqh dari Mazhab Hanafi) berpendapat, ihtikar haram karena banyak hadits Rasulullah saw. yang menyatakan bahwa pelaku ihtikar dilaknat dan orang yang melakukan kesalahan dengan sengaja adalah orang yang melakukan sesuatu yang haram. Ia juga menyatakan, dalam masalah ihtikar terkandung dua kemaslahatan yang bertentangan, yaitu kemaslahatan pribadi pedagang dan kemaslahatan konsumen. Dilihat dari tujuan syariat dalam nenetapkan hukum, apabila terjadi pertentangan antara kepentingan orang banyak dan kepentingan pribadi, maka kepentingan orang banyak harus didahulukan. Oleh karena itu, dalam kasus ihtikar, demi memelihara kemaslahatan orang banyak, kepentingan pribadi harus dikorbankan, karena mendahulukan kepentingan pribadi dapat meresahkan masyarakat banyak.
Namun Mazhab Hanafi secara umum berpendapat, ihtikar hukumnya makruh tahrim. Makruh tahrim adalah istilah hukum haram dari kalangan usul fiqh Mazhab Hanafi yang didasarkan pada dalil zhanni (bersifat relatif). Dalam persoalan ihtikar, menurut mazhab ini, larangan secara tegas hanya muncul dari hadits-hadits yang bersifat ahad (hadits yang diriwayatkan satu, dua, atau tiga orang dan tidak sampai ke tingkat mutawatir). Adapun derajat hujah hadits ahad adalah zhanni. Sementara kaidah umum yang qath’i (pasti) adalah setiap orang bebas membeli dan menjual barang dagangannya tanpa campur tangan orang lain. Menjual barang atau tidak adalah masalah pribadi seseorang.
Ulama Mazhab Hanafi tidak secara tegas menyatakan haram dalam menetapkan hukum ihtikar karena dalam masalah ini terdapat dua dalil yang bertentangan, yaitu berdasarkan hak milik yang dimiliki pedagang, mereka bebas melakukan jual beli sesuai kehendak mereka; dan adanya larangan berbuat mudharat kepada orang lain dalam bentuk apa pun.
Larangan di sini tidak langsung tertuju pada perbuatan ihtikar, melainkan larangan itu muncul disebabkan mudharat yang ditimbulkan tindakan tersebut. Menurut mereka, mudharat itu bisa dihilangkan karena bisa saja dilakukan jual beli yang sama sekali tidak mengandung mudharat. Oleh karena itu, perbuatan ihtikar dengan alasan yang melarangnya tidak menyatu. Di samping itu, seperti dijelaskan di atas, larangan ihtikar dari hadits ahad. Namun, jumhur ulama dalam menetapkan hukum haram tidak membedakan antara dalil yang dzanni dan qath’i. Apabila ada larangan dari nash (ayat dan hadits), baik sifatnya qath’i maupun zhanni, maka hukumnya haram.
Jadi, sekalipun hadits-hadits yang secara tegas melarang ihtikar seluruhnya ahad, tapi berdasarkan istiraa’ ulama terhadap hukum ihtikar dari berbagai ayat dan hadits, secara maknawi kekuatan dalilnya sudah qath’i. Di samping itu, dalam rangka siyasah syar’iyah (politik hukum) dinyatakan bahwa setiap perbuatan pada dasarnya dibolehkan, hukumnya bisa jadi tidak boleh jika membawa kepada sesuatu yang dilarang. Dalam kasus ihtikar, pada dasarnya pemilik barang boleh menjual barangnya sesuai dengan keinginannya, tetapi akibat dari perbuatan ini orang banyak mendapat mudarat. Oleh karena itu, larangan berbuat ihtikar termasuk dalam kaidah di atas.
Syarat disebut sebagai ihtikar (menimbun) adalah sampainya pada suatu batas yang menyulitkan masyarakat untuk membeli barang yang ditimbun, sebab fakta penimbunan tersebut tidak akan terjadi selain dalam keadaan semacam ini.
Syeikh Sayyid Sabiq lebih lanjut memberikan deskripsi secara lebih detail pengertian “sampainya pada suatu batas yang menyulitkan masyarakat untuk membeli barang yang ditimbun” dengan menyampaikan pendapat sebagian fuqaha’ kapan ihtikar tersebut diharamkan. Menurut kebanyakan fuqaha’ ihtikar diharamkan apabila memenuhi tiga kriteria:
1. sesuatu yang ditimbun tersebut merupakan kelebihan kebutuhan dia dan keluarganya/ orang yang menjadi tanggungannya untuk satu tahun penuh. Karena memang diperbolehkan manusia menyimpan untuk nafkah dia dan keluarganya pada batas waktu tersebut (satu tahun penuh), sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW.
2. Penimbunan dilakukan untuk menunggu saat dimana barang dagangan atau komoditas tersebut melambung harganya, dengan maksud untuk menjual komoditas tersebut dengan harga yang keji, karena memang sangat dibutuhkan(oleh masya-rakat)
3. Penimbunan terjadi pada saat masyarakat membutuhkan komoditas yang ditimbun baik berupa makanan, pakaian dsb yang menjadi kebutuhan umum masyarakat. Maka jika komoditas tersebut ada pada sejumlah pedagang tetapi masyarakat tidak membutuhkannya secara mendesak dan berlaku umum, hal itu tidak dikategorikan sebagai penimbunan, sebab tidak terdapat bahaya yang akan menimpa masyarakat.
Para ulama yang melarang tindakan menimbun barang berpendapat, bila penimbunan barang telah terjadi di pasar, pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjual barang tersebut dengan harga standar yang berlaku di pasar. Bahkan, barang yang ditimbun dijual dengan harga modalnya dan pedagang yang menimbun tidak berhak untuk mengambil untung. Ini sebagai hukuman atas tindakan mereka. Jika pedagang yang menimbun dagangan enggan menjual barangnya sesuai dengan harga pasar, hakim berhak menyita barang mereka dan membagi-bagikannya kepada masyarakat yang membutuhkan.
Karena itu, pemerintah seharusnya sejak awal telah mengantisipasi agar tidak terjadi penimbunan barang, manfaat, dan jasa yang dibutuhkan oleh orang banyak. Pemerintah harus melakukan penetapan harga yang adil atas setiap barang yang menjadi hajat orang banyak. Harga yang adil itu didapat dengan mempertimbangkan modal dan keuntungan bagi pedagang serta tidak terlalu memberatkan masyarakat. Bahkan, pemerintah tidak boleh mengekspor barang kebutuhan warganya sampai tidak ada lagi yang dapat dikonsumsi warga, sehingga membawa mudharat bagi masyarakat. Pada hakikatnya pengeksporan barang yang dibutuhkan masyarakat sama dengan ihtikar dari segi akibat yang dirasakan oleh masyarakat. Pendapat ini didasarkan pada kaidah “tasharruf al-imaam ‘ala ar-ra’iyyah manuuthun bi al-maslahah” (tindakan penguasa harus senantiasa mengacu pada kemaslahatan orang banyak.
Secara mikro pelaku pasar baik sebagai pengecer, agen maupun distributor barang dan jasa terutama komoditas yang dibutuhkan masyarakat seperti sembako dan bahan bakar yang merupakan public interest menurut hadits Nabi yang menyatakan bahwa manusia punya hak yang sama atau berserikat kepemilikan atas api (bahan energi/bakar), air (sumber kehidupan) dan padang gembala (ruang usaha), tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan diatas beban oranga lain dengan memanfaatkan situasi ketidakstabilan harga maupun mengeksploitasi posisi lemah masyarakat konsumen. Bukankah Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin, mengajarkan untuk berlaku ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal bagi semua pihak. Wallahu A’lam Wabillahit Taufiq wal Hidayah. Al-Ustadz Setiawan Budi Utomo

Comments :

0 komentar to “Menimbun Barang, Bolehkah?”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE