Wednesday, April 08, 2009

Kafalah Bil Ujrah (Imbalan Akad Jaminan) dalam Pandangan Fiqh Islam


Oleh : Erwandi Tarmizi, MA*
Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ala rasulillah, wa ala alihi wa shahbihi wa man walah.

Pendahuluan
Akad kafalah atau dhoman atau hamalah (berarti : jaminan) merupakan salah satu akad dalam fiqh muamalah yang banyak digunakan dalam produk dan jasa Lembaga Keuangan Syariah (LKS), seperti dalam akad Letter of Credit (L/C) , ekspor/impor syariah, dan dalam akad Syariah Card.
Untuk itu dirasa sangat penting membahas persoalan hukum menerima imbalan akad jaminan (kafalah bilujrah) dari sudut fiqh muamalat, sehingga diketahui sejauh mana keabsahan imbalan yang diterima LKS dari akad kafalah yang dilakukannya terhadap nasabah.
Pendapat Ulama Mazhab Tentang Kafalah BilUjrah.
b.1. Pendapat ulama mazhab Hanafi.
Para ulama dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad kafalah dan imbalan tidak sah bila kafil (penjamin) mensyaratkan imbalan dari jaminan yang dia berikan kepada pihak yang dijamin makful ‘anhu, dan bila tidak disyaratkan dalam akad dan pihak yang dijamin memberikan imbalan dengan sukarela maka imbalannya tidak sah namun akad kafalah tetap sah.
Ibnu Nujaim berkata:
ولو كفل رجل عن رجل على أن يجعل له جعلا فهذا على وجهين: إما أن يكون الجعل مشروطا في الكفالة أو لا فإن لم يكن مشروطا في الكفالة فالجعل باطل والكفالة جائزة ... فأما إذا كان الجعل مشروطا في الكفالة ذكر أن الجعل باطل والكفالة باطلة ... (البحر الرائق 6/242)
“ Seseorang melakukan akad kafalah terhadap orang lain dan menerima imbalan dari orang yang dijamin. Akad ini memiliki 2 bentuk: 1. Imbalan tidak disebutkan/disyaratkan dalam akad maka hukum imbalannya tidak sah namun akadnya tetap sah… 2. Imbalan disebutkan/disyaratkan dalam akad maka imbalan dan akad kafalahnya tidak sah…” Bahrul Ar Raiq, juz. VI, Hal, 242.
b.2. Pendapat ulama mazhab Maliki.
Para ahli fiqh dalam mazhab Maliki menghukumi akad kafalah dengan imbalan tidak tidak sah (fasid) tanpa membedakan imbalan yang disyaratkan pada saat akad ataupun tidak.
Ad Dasuki berkata:
والضمان هو الحمالة ... إذا كانت الحمالة فاسدة شرعا غير مستوفية للشروط كانت غير معتد بها كما إذا كانت بجعل فهي فاسدة... (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير 3/77).
“ Kafalah yang tidak sah adalah kafalah yang tidak memenuhi syarat, seperti; menerima imbalan dari akad kafalah…” Hasyyah Dasuki, juz III, Hal 77.
b.3. Pendapat ulama mazhab Syafi’i
Pendapat para fuqoha dalam mazhab Syafi’i sama dengan pendapat ulama dalam mzhab Hanafi, yaitu: bila imbalan disebutkan dalam akad maka imbalan dan akad kafalah tidak sah, namun bila tidak disyaratkan dan diberikan dengan sukarela maka akad kafalahnya sah namun imbalannya tidak sah.
Al Mawardi berkata:
فصل : فلو أمره بالضمان عنه بجعل جعله له لم يجز. وكان الجعل باطلا. والضمان إن كان بشرط الجعل فاسدا. (الحاوي الكبير 6/443).
“Jika seseorang meminta orang lain untuk menjadi penjaminnya dan dia akan memberikan imbalan kepadanya, akad ini tidak dibolehkan. Dan imbalannya tidak sah. Dan akad kafalah yang dengan persyaratan imbalan tidak sah”. Al Hawi Kabir, juz VI, Hal 443.
b.4. Pendapat ulama mazhab Hanbali.
Para ahli fiqh dalam mazhab Hanbali juga tidak membolehkan menerima imbalan dari akad kafalah secara mutlak, baik disyaratkan ataupun tidak disyaratkan.
Ibnu Qudamah berkata;
ولو قال : اكفل عني ولك ألف . لم يجز (المغني 6/441).
“Jika seseorang berkata kepada orang lain,” jadilah engkau penjaminku dan aku akan memberimu imbalan seribu,” akad ini tidak boleh.” Al Mugni, juz VI. Hal 441.
Dalil tentang tidak dibenarkannya menerima imbalan dari akad kafalah.
c.1. Ijma’ (konsensus para ulama).
Para ulama sepakat bahwa imbalan yang diterima dari akad kafalah tidak dibolehkan. Ijma’ ini dinukil oleh Ibnu Munzir dalam bukunya “ Al Isyraf, juz I, hal 120”:
أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على أن الحمالة بجعل يأخذه الحميل لا تحل ولا تجوز
“Semua ulama -yang kami ketahui- sepakat bahwa imbalan yang diterima dari akad kafalah tidak halal dan tidak dibolehkan.”
Andaikata ijma’ yang dinukil oleh Ibnu Munzir ini tsabit niscaya ini dalil terkuat dalam persoalan ini –sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fiqh-.
c.2. Diriwayatkan dalam sebuah atsar:
كل قرض جرّ منفعة فهو ربا
“Setiap manfaat yang diperoleh pihak pemberi hutang adalah riba”. HR. Baihaqi.
Hakikat akad kafalah adalah pihak penjamin (kafil) bersedia membayar hutang makful ‘anhu (pihak yang dijamin) kepada makful lahu (pihak orang yang berpiutang). Maka jika kafil membayarkan hutang makful ‘anhu kepada makful lahu posisi kafil berubah menjadi muqridh (pihak yang memberikan hutang) kepada makful ‘anhu. Dan bila disyaratkan imbalan dalam akad kafalah maka kafil yang sudah berubah fungsi sebagai muqridh nantinya akan menerima piutangnya dan manfaat (yaitu: imbalan akad kafalah). Dengan demikian imbalan yang diterima kafil dari akad kafalah pada hakikatnya adalah riba yang didapatkan dari akad qardh (pinjaman). Lih. Al Mugni, juz VI. Hal 441, Hasyyah Dasuki, juz III, Hal 77, Bahrul Ar Raiq, juz. VI, Hal, 242 dan Kasysyaful Qina’, juz III, hal 356.
c.3. Dalam fiqh islam imbalan berhak diterima karena melakukan sesuatu (kerja), sedangkan akad kafalah hanyalah pernyataan kesediaan kafil untuk menanggung hutang makful ‘anhu. Lih. Al Hawi Kabir, juz VI, Hal 443. Dengan demikian imbalan yang diterimanya termasuk memakan harta dengan cara yang batil seperti difirmankan Allah (QS. An Nisaa’: 29):
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…”
Kesimpulan.
Dari pernyataan para fuqoha diatas dan dari dalil-dalil yang disebutkan dapat kita ketahui bahwa pihak penjamin (kafil) tidak dibenarkan menerima imbalan dari pihak yan dijamin baik disyaratkan dalam akad maupun tidak dan imbalan tersebut pada hakikatnya adalah riba.
Pernyataan fuqoha diatas dikuatkan dengan fatwa hasil keputusan muktamar majma’ al fiqh al islami (asosiasi internasional di bidang fiqh di bawah OKI) yang diadakan di Jeddah pada tahun 1985 dengan nomor fatwa: 12 (12/2).
Juga dituangkan dalam buku panduan lembaga keuangan syariah internasional “Ma’ayir Syar’iyyah” yang disusun oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization of Islamic Finance Institutions) -yang beranggotakan 152 bank islam dari 28 negara- dalam bab V, fasal 3/1/5, hal. 63.

Saran Dan Himbaun.
e.1. Terkait dengan hasil kajian tersebut, diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dalam meninjau ulang tiga fatwa yang membolehkan menerima imbalan dari akad kafalah, yaitu:
- Fatwa No: 11 / DSN-MUI/IV/2000. Tentang ketentuan umum kafalah no: 2 yang berbunyi, “Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
- Fatwa No: 54/ DSN-MUI/X/2006. Tentang Akad yang digunakan dalam Syariah Card yang berbunyi “Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah)”.
- Fatwa No: 57/DSN-MUI/V/2007. Tentang L/C Akad Kafalah Bil Ujrah adalah transaksi perdagangan ekspor impor yang menggunakan jasa LKS berdasarkan akad Kafalah, dan atas jasa tersebut LKS memperoleh fee (ujrah) .
e.2. Selain itu, diharapkan Dewan Syariah Nasional sebelum dilakukan pengkajian ulang tersebut, kiranya dapat mensosialisasikan argumentasi dan konsideran fatwa tersebut kepada masyarakat Islam di Indonesia agar dapat dimengerti dalil-dalil yang menjadi pedoman dalam menetapkan ketiga fatwa di atas.
e.3. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut terkait imbalan yang diterima oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia dari kafalah yang diberikan kepada pemegang Syariah Card dan dari kafalah dalam L/C, terkait dengan indikasi unsur riba. Terkait dengan hal tersebut, untuk Syariah Card perlu dipertimbangkan apakah sebenarnya cukup menerima fee dari nasabah melalui membership fee dan bukan dari jasa kafalah. Sedangkan untuk L/C cukup menerima biaya penerbitan L/C saja atau jika menginginkan imbalan dapat menerima bagi hasil dengan mengubah bentuk akadnya menjadi musyarakah seperti yang diterapkan oleh Bank Rajhi.
Penutup.
Demikianlah hukum imbalan akad kafalah menurut pandangan fiqh Islam semoga dapat menjadi perhatian berbagai pihak yang konsen dengan perkembangan perbankan syariah di Indonesia dan menjadi bahan pertimbangan bagi setiap pihak pemegang keputusan dalam sistem Lembaga Keuangan Syariah.

* Mahasiswa program S3, jurusan Ushul Fiqh, fakultas Syariah, Universitas Islam Imam Muhammad Bin Saud, Riyadh- KSA.

Comments :

1
Istifadah said...
on 

Jalan tangahnya, jangan bilang ujrah kafalah, bilang aja ujrah administrasi atau rusuum al awraaq. Tentu dengan implikasinya sekaligus.

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE