Wednesday, April 15, 2009

PARLEMEN BAGILEGISLATIF MUSLIM, KURSI ATAU MIMBAR?



Euforia demokrasi yang telah banyak menelan korban nyawa, kejiwaan dan sekaligus kerohanian, dibalik gemerlap, gempita dan riuh serunya perebutan kursi legislatif dalam pemilu yang baru saja selesai, semestinya dijadikan bahan perenungan kembali apa sesungguhnya yang terjadi dan bagaimana perspektrif Islam memandangnya terutama bagi para caleg dan pemilih muslim.

Kursi DPR RI dan DPRD menjadi impian dan obsesi sementara anggota legislatif yang tentunya akan meninggalkan luka dan kecewa bagi caleg yang gagal terpilih ataupun partai yang gagal melenggang ke kusri DPR Ri karena terjegal ketentuan parliamentary threshold. Sayangnya, masih banyak caleg muslim yang belum memahami, menyadari, merenungkan ataupun peduli pertanyaan mendasar seputar parlemen dari pespektif islam. Bagaimana kedudukan parlemen dalam kacamata Islam. Sebenarnya ia merupakan manivestasi ‘kursi kekuasaan’ ataukah ‘mimbar dakwah’? Jawaban pertanyaan ini tentunya merupakan implikasi dari kejelasan ketentuan syariah Islam mengenai kriteria anggota parlemen (legistalif). Bagaimanakah criteria sebenarnya secara tepat menurut Islam?

Membahas persoalan politik termasuk posisi parlemen adalah sangat diwarnai oleh paradigma dan perspektif yang berkembang seputar persoalan itu sendiri. Namun Islam selalu hadir dengan konsep dan paradigmanya yang khas (unik). Bila sementara masyarakat memandang politik dan perebutan posisi di parlemen sebagai suatu hal yang terkesan profan (bersifat kotor, materi dan rendah), Islam justru memandangnya dari sisi kemuliaan niyat (yang mencakup motivasi, visi dan orientasi) disamping kebersihan cara sebagai perjuangan (jihad politik) yang bersifat sakral (mulia dan suci), seklilagi itu tergantung kepada niyat dalam pengertian diatas. Hadits nabi saw: “Innamal a’malu bin niyyat wa innama likullimriin ma nawa” (Sesungguhnya nilai kerja itu tergantung pada niyat, dan bagi tiap orang tergantung apa yang diniyatkannya.) HR. Bukhari dan Muslim.

Bagi yang memandang parlemen sebagai sesuatu yang bersifat profan, karena image dan opini publik yang umum berkembang mengkonotasikan parlemen sebagai manivestasi dari ‘kursi’ yang bermakna ‘tahta’ (kedudukan). Hal itu secara otomatis membawa konsekuensi psikologis dan kultural yang menggambarkan kursi parlemen sebagai fasilitas empuk materi, gengsi, prestise, status sosial dan prestasi sekaligus sebagai tahta kekuasaan.

Oleh karena itu tidak heran, bila dalam ‘pesta demokrasi’ sarat dengan budaya menghalalkan segala cara ala machiavelisme untuk mencapai tujuan berupa kursi parlemen, sehingga tidak ada lagi komitmen terhadap etika, norma bahkan aturan yang disepakati sendiri sekalipun. Ketika sudah duduk dilembaga legislatif parlemen,yang dilakukan tidak lebih dari 6 D (datang, duduk, diam, dengar, dengkur, duit). Gaya dan sikap hidupnya berubah menjadi adigang, adigung, adi kuasa serta mengandalkan aji mumpung untuk menumpuk kekayaan dan meraup kesenangan. Dari sinilah kemunculan titik rawan praktek KKN serta budaya suap yang merusak sendi kehidupan.

Tragisnya, apabila menjelang berakhirnya masa jabatan timbullah gejala psikologis post power syndrom yakni semacam perasaan cemas, takut, galau menghadapi perasaan diri yang tidak dianggap, tidak dipilih, tidak dipandang, masa pensiun dan tidak berguna serta kondisi ketidak berdayaan. Pada akhirnya yang timbul adalah reaksi bulat memperjuangkan uang pesangon yang sebesar-besarnya, dan bukan instropeksi diri memikirkan dan mengevaluasi dedikasi, kinerja dan produktivitas legislatif serta pertanggungjawaban publik hasil kerjanya kepada rakyat.

Sedangkan sementara umat yang sadar akan arti amanat dalam Islam akan memandang parlemen sebagai mimbar tugas, tanggung jawab dan amanat yang wajib ditunaikan secara mulia sebagai fardhu kifayah (kewajiban kolektif representatif). Parlemen tiada lain merupakan bagian dari mimbar dakwah sebagai media amar makruf nahi munkar, menegakkan syi’ar agama, membela kepentingan rakyat dan melindungi hak-hak asasi manusia, seperti ditengarai imam Al Mawardi dalam Al-AhkamAs-Sulthaniah (h.15-17)

Parlemen secara etimologis diambil dari akar kata Belandanya, Parlementte memiliki makna berbicara, berpidato dan berdebat kian kemari. (Lihat, Prof. Drs. S. Wojowasito dalam Kamus Belanda-Indonesia, Jakarta, IBVH, 1996, hal. 486) Dari sini kita dapat tarik kesimpulan bahwa fungsi esensial dan peran substansial parlemen adalah sebagai media dan mimbar dakwah untuk menyampaikan dan membela kebenaran (al-haq) yang dalam Islam termasuk amal dan perkataan yang paling mulia. Firman Allah: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata:"Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" (QS. Fushshilat:33).

Implikasi dan konsekuensi memahami parlemen seperti ini adalah kesadaran komitmen untuk menyampaikan kebenaran secara hikmah (arif dan bijak) serta menggunakan cara etis untuk mencapai mimbar tersebut dengan tidak menghalalkan segala cara. Al-Qur’an mengatakan: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl:125).

Dari paradigma inilah kita memahami istilah populer ‘parlemen jalanan’, artinya semangat konsisten menyuarakan kebenaran dimana-mana seperti demo di jalan-jalan meskipun tidak melalui mimbar lembaga resmi parlemen. Disamping itu harus konsisten dengan niat ibadah dan jihad bukan mencari nafkah dan bisnis apalagi menumpuk kekayaan serta mengejar kesenangan dan fasilitas. Istilah ‘mimbar’ mengandung makna kesiapan berdiri secara konsisten, berani dan ikhlas menyuarakan kebenaran (QS. Al-Muzammil:2), integritas dan tanggung jawab moral-intelektual penyuara kebenaran, kapabelitas, kredibilitas serta penguasaan konseptual misi dakwah dan visi pembangunan bangsa (QS. Yusuf:108).

Mengenai pertanyaan kedua yang membawa implikasi dan konsekuensi jawaban pertanyaan pertama maka dapat kita rumuskan jawabannya sebagai berikut.

Lembaga Legislatif dalam khazanah Islam dikenal dalam terminologi Ahlul Halli Wal ‘Aqdi atau Ahlul Ikhtiar atau Majlis Syura. Substansinya adalah sama yakni dewan perwakilan rakyat dan majlis permusyawaratan rakyat yang diwakili oleh wakil-wakil rakyat yang terdiri dari kalangan tokoh masyarakat, ulama dan kaum cendekiawan yang berfungsi mengangkat, mengawasi, meminta pertanggung jawaban eksekutif dan mencopotnya secara konstitusional bila ada indikasi dan alasan yang kuat untuk dilengserkan, serta menunjuk penggantinya yang layak. (Al-Mawardi:8)

Sedangkan kriteria anggota legislatif yang mewakili umat Islam sesuai dengan pengertian dan paradigma di atas sebagaimana yang dirumuskan oleh para ulama adalah sebagai berikut:

1.‘Adalah; sifat adil dan integritas moral secara universal yang mencakup semua persyaratan adil dalam pemberian kesaksian dalam syari’ah Islam yaitu beragama Islam, berakal, baligh (dewasa), tidak fasik (tukang maksiat), memiliki reputasi dan citra baik ditengah masyarakat.

2.Integritas dan kredibelitas intelektual serta memiliki visi kenegarawanan.

Integritas dan kapabelitas konsepsional, arif, bijaksana serta kaya ide dan inisiatif demi mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa.

3.Memiliki integritas kepemimpinan serta potensi pengaruh dan ketokohan sehinggga menjadi panutan dan rujukan masyarakat.

4.Ketulusan dan keikhlasan dalam mengemban tugas dan memberikan konsep, kritik, ide dan nasehat serta kontribusi terbaik bagi umat, bangsa dan negara. (Al-Mawardi, Al-Ahkam As Sulthaniah, hal.7, Abu Ya’la, Al-Ahkam As Sulthoniyah, hal. 2-3, Hasyiyah Qalyubi, IV/173, Asnal Matholib, IV/109, DR. Faruq Nabhan, Nidzamul Hukm fil Islam, 472, Imam Hasan Al-Banna, Majmu’atur Rasail, hal.328)

Dengan demikian seleksi anggota legislatif yang merupakan refleksi dari pemilihan pemimpin dan wakil rakyat yang akan menentukan arah kehidupan bangsa harus mengacu kepada sunnatullah baik secara syar’iah (pertimbangan teologis) maupun kauniyah (proses fitri alamiah). Artinya bahwa pemilihan pemimpin (imam) dan wakil rakyat (ahlul halli wal ‘aqdi) bukan sekedar persoalan mekanisme dan teknis duniawi tetapi persoalan ini sangat penting dalam khazanah Islam karena termasuk wilayah prinsip dan menyangkut akidah, demikianlah ulama lebih banyak memasukkan persoalan kepemimpinan dan perwalian (perwakilan) dalam bab akidah, sehingga umat lebih dituntut hati-hati dan selektif. Prinsip dasar inilah yang mendasari jawaban pertanyaan ketiga yakni hukum memilih pemimpin dan wakil rakyat non muslim.

Dalam hal ini, orang-orang mukmin dilarang Allah memilih orang-orang non muslim sebagai wali (pemimpin dan wakil), bahkan bila kita tetap nekad tidak peduli atau melanggarnya akan diazab Allah. Firman Allah SWT.: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)” (QS. 4:144)

Al-Qur’an dengan tegas mengecam orang yang mengambil non muslim sebagai wali untuk mengharapkan kejayaan dan kemuliaan hidup dari tampilnya kandidat pemimpin non muslim itu serta mencap mereka sebagai orang-orang munafik yang diancam dengan siksa pedih, “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Apakah mereka mencari kejayaan di sisi orang kafir itu. Maka sesungguhnya semua kejayaaan kepunyaan Allah.” (QS. 4:138-139)

Sesungguhnya orang-orang yang layak menjadi pemimpin dan wakil umat Islam adalah orang-orang mukmin yang mengimani risalah Islam dan dipercayai dapat menegakkan syi’ar Islam. Allah berfirman: “Sesungguhnya wali (pemimpin dan wakil) kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (QS. 5:55)

Kalaupun kenyataan empiris umat Islam baik secara sengaja, sadar, tahu atau tidak telah memilih secara langsung maupun tidak langsung pemimpin dan wakil rakyat non muslim maka berarti telah berebuat dosa besar dengan mengkhianati amanat Allah untuk mengakkan kesaksian secara jujur dan adil. (QS. At-Thalaq:2 dan Al-Hajj: 30) Bila demikian maka umat Islam yang terlanjur melakukannya untuk memohon ampun kepada Allah seraya menebus kesalahnnya dengan melakukan perbaikan dan kebaikan yang dapat mengeliminir ataupun mereduksi dampak negatif dari pilihannya yang tidak tepat itu, semoga Allah tidak menurunkan azabnya di dunia sebelum akhirat.

DR. Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Al-Hall Al-Islami; Faridhotun wa Dhorurah (hal. 115, 183) menegaskan bahwa solusi krisis akut yang dihadapi bangsa-bangsa muslim dewasa ini adalah dengan mengedepankan sistem Islami secara murni, konsisten (istiqamah), dan komprehensif yang merupakan keniscayaan sejarah dan keharusan syari’ah. Tanggung jawab inipun harus dilakukan oleh orang-orang Islam sendiri sebagai pelopor reformasi baik dalam tataran konstitusional maupun sosio kultural.

Bila realitas politik menampilkan anggota legislatif yang mewakili umat Islam Indonesia sekarang lebih didominasi non muslim, kalaupun mereka tidak menyimpan itikad makar terhadap Islam, maka bagaimana mungkin mereka dapat menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang menjadi kunci pembuka pintu rahmat, berkah dan ridho Allah. Realitasnya, kursi legislatif saat ini lebih dilihat sebagai ‘tahta kekuasaan’ yang dapat diperebutkan dan diduduki siapa saja, baik kandidat yang mampu maupun tidak mampu, baik shalih maupun jahat, baik layak maupun tidak layak yang tentunya dengan segala konsekuensinya. Kursi legislatif belum dipandang secara umum untuk merepresentasikan kepeloporan amal shalih, belum dimaknai sebagai mimbar dakwah yang mulia untuk menjadikan politik bukan sebagai tujuan akhir tetapi hanya sebatas sebagai alat memperjuangkan nilai-nilai kebenaran ilahi dan menyejahterakan rakyat berdasar nilai-nilai ilahi tersebut, sebagaimana yang dirumuskan oleh imam Al-Mawardi.

Ringkasnya, sikap umat mengambil alternatif diluar Islam untuk menjadi solusi dan harapan kejayaan adalah tindakan yang melawan sejarah. Islam sebagai identitas dan misi bukan berarti eksklusif, tetapi juga bukan berarti terbuka yang lumer dan tidak berprinsip. Politik Islami seharusnya menampilkan dirinya dalam fenomena pohon yang indah warna tampilannya, menjulang tinggi batangnya (high level), lezat buahnya, harum aromanya, menghujam dalam dan luas akarnya (populis dan merakyat), memberikan keindahan siapapun yang melihatnya, memberikan keteduhan bagi siapapun yang bernaung padanya. Itulah perumpamaan misi mulai kalamah thayyibah dan semangat Islam. Khalifah Umar bin Khaththab ra. berkata: “Kita sebagai umat yang dijayakan Allah dengan Islam, maka manakala kita coba mencari-cari kejayaan diluar itu justru Allah akan menghinakan kita.”

Rasulullah saw telah mengingatkan kita untuk menjaga komitmen berpihak kepada suara umat Islam dengan sabdanya: “Kamu harus berpihak kepada suara mayoritas umat Islam (yang konsisten).” HR. Ahmad. Pemimpin dan wakil rakyat dalam khazanah Islam dikenal dengan imamul muttaqin (QS. 25:74) dan tidak sekedar orang yang diloloskan oleh suara mayoritas masyarakat yang sangat heterogen kualitas ketakwaanya. Imamul Muttaqin artinya adalah panutan dan teladan orang-orang muslim bertaqwa. Jadi benar-benar putra terbaik umat dalam pengertiannya yang luas.

Lebih tegas, dalam kitab Adab Ad-Dunya wad Din (hal. 224) imam Abul Hasan Al Bashri al-Mawardi merumuskan lima kriteria wakil rakyat sebagai majlis syura disamping kriteria kecerdasan dan kearifan, ketulusan dan kepedulian, sehat pemikiran, dan tidak mengejar materi duniawi adalah ia harus beragama Islam dan memiliki ketakwaan, karena hal itu sebagai modal kebaikan, kejujuran, kepercayaan, keberhasilan reformasi dan kejayaan. Kemudian beliau menukil hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas: ”Barang siapa yang menginginkan suatu persoalan maka musyawarahkanlah dengan seorang yang muslim (dari ahlus syura) niscaya akan dapat memberikan solusi persoalannya dengan taufik Allah.”

Ketentuan hukum dan makna seputar parlemen ini tentunya dapat mengundang tuduhan sektarian, puritan, idealistis atau reaksi kontroversi lainnya, tetapi yang perlu disadari bersama bahwa hal ini merupakan keniscayaan sejarah dan tuntutan demokrasi itu sendiri yang menganut prinsip proporsionalitas dan profesionalitas sekaligus prinsip aliran ideologi yang masing-masing umat tentunya mewakili umat dan konstituennya. Tentunya juga tidak akan wajar serta dipastikan mengundang reaksi keras dan kontroversi jika di negara sekuler ataupun mayoritas penduduknya non muslim seperti Amerika atau Eropa diwakili orang muslim secara mayoritas dalam parlemennya, begitu pula sebaliknya. Isu keislaman Obama sekalipun sempat menjadi polemik dan black campign bagi Obama, karena sensitifnya isu keterwakilan agama, sekalipun di negara maju dan pionir demokrasi. Itulah sesunggunya duduk persoalan yang merupakan tuntutan azas keadilan sebelum keharusan syari’ah. Wallahu A’lam. Al-Ustadz Setiawan Budi Utomo




Comments :

0 komentar to “PARLEMEN BAGILEGISLATIF MUSLIM, KURSI ATAU MIMBAR?”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE