Thursday, April 02, 2009

Syariah Menjiwai Kesejatian Koperasi Indonesia


Al-Ustadz Setiawan Budi Utomo

Prinsip sentral syariah Islam menurut Ibnul Qayyim dalam I’lam al-Muwaqqi’in (vol.III/14) adalah hikmah dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akherat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan yang merata, rahmat (kasih sayang dan kepedulian), kesejahteraan dan kebijaksanaan. Apa saja yang merubah keadilan menjadi kezaliman, rahmat menjadi kekerasan, kemudahan menjadi kesulitan, dan hikmah menjadi kebodohan, maka hal itu tidak ada kaitannya dengan syari’ah.

Tujuan utama ketentuan syariat (maqashid as-syari’ah) adalah tercermin dalam pemeliharaan pilar-pilar kesejahteraan umat manusia yang mencakup ‘panca maslahat’ dengan memberikan perlindungan terhadap aspek keimanan (hifz din), kehidupan (hifzd nafs), akal (hifz ‘aql), keturunan (hifz nasl) dan harta benda mereka (hifz mal). Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki syari’ah sebagaimana kesimpulan Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa, (vol.I/139-140)
Doktrin ukhuwwah (persaudaraan) yang merupakan bagian integral dari konsep tauhid dan khilafah akan tetap menjadi konsep hampa (pepesan kosong) yang tidak memiliki substansi, jika tidak dibarengi dengan keadilan sosio-ekonomi (Sayyid Quthb, Al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fil Islam:1964). Keadilan telah dipandang oleh para fuqaha sebagai subtansi maqashid asy-syariah, sehingga mustahil melihat masyarakat islami, yang tidak menegakkan keadilan di dalamnya. Islam tegas sekali dalam menegakkan tujuannya untuk menghapuskan segala bentuk kezaliman (dzulm) dari masyarakat manusia, yang merupakan istilah universal Islam untuk pengertian komprehensif anti segala bentuk ketidakadilan, kesenjangan sosial, eksploitasi, penindasan, dan pelanggaran hak-hak, sehingga seseorang menjauhkan hak orang lain atau tidak memenuhi kewajibannya terhadap mereka.
Penegakan keadilan dan penghapusan segala bentuk ketidakadilan telah ditekankan Islam dalam al-Qur’an sebagai misi utama (risalah) para Rasul Allah (Al-Hadid:25) Tidak kurang dari seratus ungkapan yang berbeda redaksinya dalam al-Qur’an mengandung makna keadilan, baik secara langsung seperti ungkapan ‘adl, qisth, mizan, atau dalam berbagai bentuk redaksi yang menyiratkan secara implisit. Disamping itu terdapat lebih dari dua ratus peringatan dalam al-Qur’an yang menentang ketidakadilan seperti dzulm, itsm, dhaal, dan lainnya sebagaimana ungkap Madjid Khaduri dalam The Islamic Conception of Justice (1984: 10) Bahkan al-Qur’an menempatkan keadilan “paling dekat kepada takwa (Al-Maidah:8) karena begitu pentingnya ia dalam struktur keimanan Islam. Secara alami, ketakwaan adalah faktor yang paling penting karena menjadi batu loncatan bagi semua amal shalih termasuk keadilan. Rasulullah bahkan lebih menekankan lagi dengan menyamakan ketiadaan kedilan dengan “kegelapan absolut” (Lihat QS. An-Nur:40) dan beliau memperingatkan: “Jauhilah segala kezaliman (adz-dzulm) karena kezaliman itu adalah kegelapan (dzulumat) pada hari kiamat.” (HR. Muslim) dan Lihat.
Karena itu tidak mengherankan jika Syeikul Islam Ibnu Taimiyah dalam al-Hisbah fil Islam (1967:94) berani menyatakan bahwa negara yang adil meskipun kafir lebih disukai Allah daripada negara tidak adil meskipun beriman, dan dunia akan dapat bertahan dengan keadilan meskipun tidak beriman, tetapi tidak akan bertahan dengan ketidakadilan meskipun Islam. Ketidakadilan dan Islam berbeda satu sama lain dan tidak dapat hidup berdampingan tanpa salah satu harus dihapuskan atau dilemahkan.
Komitmen Islam yang begitu intens kepada makna kekeluargaan, persaudaraan dan keadilan menuntut semua sumber-sumber daya di tangan manusia sebagai suatu amanah (titipan sakral) dari Allah dan harus dimanfaatkan untuk mengaktualisasikan maqashid asy-syari’ah diantaranya dengan memenuhi empat nilai dasarnya berupa: (1). Pemenuhan kebutuhan pokok; (2) mata pencaharian yang layak; (3) distribusi pendapatan dan kekayaan secara adil; dan (4) pertumbuhan dan stabilitas.
Tujuan pemenuhan kebutuhan pokok mengamanatkan bahwa diantara implikasi dan konsekuensi logis dari doktrin ukhuwah adalah sumberdaya nikmat yang ada harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok semua individu sehingga setiap orang mendapatkan standar hidup yang manusiawi, layak dan terhormat sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah Allah. (Chapra: 1995) Rasulullah saw bersabda: “Tidak beriman orang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan dan ia tahu hal itu.” (HR. Al-Bukhari). Para fuqaha telah sepakat bahwa hukumnya fardhu kifayah bagi masyarakat muslim untuk memperhatikan pemenuhan kebutuhan pokok orang-orang miskin. Semangat solidaritas dan kebersamaan itu menurut Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat: II/177 merupakan raison d’etre masyarakat itu sendiri. Seluruh cendikiawan muslim masa kini seperti Abul A’la Al-Maududi, Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb, Musthafa As-Siba’I, Abu Zahrah, Baqir Ash-Shadr, Yusuf Al-Qardhawi sepakat berpendapat demikian. (lihat Shiddiqi dalam “Guarantee of a Minimum Level of Living in Islamic State”, dalam M. Iqbal (1988), hlm. 251-303; Abdus Salam al-Abadi dalam al-Milkiyah Asy-Syakhsiyah fis Syari’ah al-Islamiyah” (1974-75) vol.III/81-95; Ibrahim Ahmad Ibrahim dalam Nidhamun Nafaqot fis Syari’ah al-Islamiyah (1349), dan M. Anas Zarqa’ dalam “Islamic Distributive Schemes” dalam M. Iqbal (1988), hlm. 163-219). Menurut Jamaluddin Zarabozo (1980) bahwa pendekatan memenuhi dan menjamin kebutuhan pokok merupakan pendekatan Islam terhadap pembangunan.
Mata pencaharian yang layak dan terhormat harus didapat, karena martabat tinggi manusia yang menyandang status khalifah di muka bumi mengandung pengertian bahwa pemenuhan kebutuhan pokok harus dilakukan lewat upaya-upaya individu itu sendiri. Karena itu para fuqaha telah menekankan kewajiban personal bagi setiap muslim (fardhu ‘ain) untuk memperoleh penghidupannya sendiri dan keluarganya. (QS. Al-Jum’ah:10) Tidak terpenuhinya kewajiban ini menjadikan seorang muslim tidak dapat mempertahankan kondisi kesehatan badan dan mentalnya serta efisiensi dan efektifitasnya yang diperlukan dalam melaksanakan kewajiban ubudiahnya. (Lihat, Kitab al-Kasb, Asy-Syaibani dalam As-Sarkasi, Al-Ghazali dalam Ihya’, vol. II/60-64) Oleh karena itu setiap muslim boleh jadi tidak dapat memenuhi kewajiban mencari pencaharian yang laayak kecuali jika ada peluang wirausaha atau lapangan pekerjaan, maka dapatlah disimpulkan bahwa kewajiban kolektif masyarakat muslim adalah menjamin peluang yang sama bagi setiap orang untuk memperoleh penghasilan dan penghidupan yang terhormat sesuai dengan kemampuan dan usahanya.
Distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata perlu diwujudkan, karena meskipun terwujud pemenuhan kebutuhan pokok, mungkin saja masih terjadi kesenjangan pendapatan dan kekayaan. Kesenjangan-kesenjangan dalam suatu masyarakat muslim diakui sepanjang penyebabnya adalah perbedaan keterampilan, keahlian, inisiatif, usaha dan factor resiko. Namun kesenjangan yang sudah tidak proporsional dan terlalu ekstrim sudah tidak sesuai lagi dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa sumber daya yang ada bukan saja karunia Allah bagi seluruh umat manusia (QS. al-Baqarah:29), melainkan juga sebagai suatu amanah yang harus dijaga (QS. al-Hadid:7) Karena itu tidak ada alasan bagi konsentrasi sumber daya di segelintir orang. Kurangnya program yang efektif seperti optimalisasi zakat, infak, sedekah dan wakaf secara efektif untuk mereduksi kesenjangan-kesenjangan akan mengakibatkan penghancuran, dan bukan penguatan rasa persaudaraan dan solidaritas yang dikehendaki Islam (QS. al-Hasyr:7)
Islam sangat menekankan distribusi yang adil sehingga ada beberapa kaum Muslimin yang berpandangan bahwa persamaan kekayaan adalah penting di sebuah masyarakat Muslim. Abu Dzar, seorang sahabat Nabi saw, berpendapat bahwa adalah tidak baik bagi seorang muslim untuk memiliki kekayaan di luar kebutuhan pokok keluarganya. Namun, kebanyakan sahabat Nabi tidak setuju dengan pendapat Abu dzar yang ekstrim ini. Bagaimanapun Abu Dzar bukanlah pendukung gagasan persamaan pendapatan. Ia mendukung persaman hak dan peluang untuk mendaaaatkan kebutuhan dasar. Ia menegaskan bahwa hal ini dapat dicapai bila seluruh surplus melebihi pengeluaran yang semestinya (al-‘afw) digunakan oleh orang kaya untuk memperbaiki nasib saudara-saudaranya yang miskin. Ini adalah pandangan umum para cendikiawan muslim bahwa jika pola perilaku sosial dan ekonomi direstrukturisasi sesuai dengan ajaran-ajaran islam, kesenjangan pendapatan dan kekayan yang ekstrim dalam sebuah masyarakat Muslim akan terhapus.
Pertumbuhan (material dan spiritual) serta stabilitas ekonomi harus diupayakan mengingat bahwa tidak mungkin bagi umat Islam untuk merealisasikan tujuan-tujuan pemenuhan kebutuhan dan suatu tingkat usaha dan kerja yang tinggi tanpa menggunakan sumber daya yang tersedia dengan sangat efisien, dan membangkitkan suatu tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan tujuan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil akan terwujud lebih cepat dan dengan pengorbanan yang kecil dari orang kaya jika suatu tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dicapai dan orang miskin dijadikan mampu mendapat suatu bagian lebih besar dari buah pertumbuhan itu. Suatu kinerja yang lebih baik dari stabilitas ekonomi juga akan membantu mengurangi penderitaan ketidakadilan yang diciptakan oleh resesi, inflasi dan pergerakan harga dan kurs valuta yang tak menentu. Dengan begitu, bahkan dalam sebuah masyarakat muslim, yang tidak bersandar pada ‘optimalitas pareto’ dalam merumuskan kebijakan-kebijakan dan tidak menekankan pertumbuhan ekonomi untuk kepentingannya sendiri, realisasi suatu tingkat optimum pertumbuhan ekonomi dan penurunan ketidak stabilan ekonomi adalah penting untuk memenuhi implikasi khalifah dan ‘adalah (keadilan).
Tujuan ekonomi menurut para ekonom kontemporer sebagaimana versi Wonnacot dalam Economic Goals-nya yang meliputi lima hal yaitu: penciptaan lapangan kerja, distribusi pendapatan yang merata (adil), penciptaan efisiensi, memantapkan stabilitas harga, dan memacu pertumbuhan ekonomi, dalam konteks maqashid syari’ah yang harus diimplementasikan secara integral, belum seluruhnya mengcover tujuan syari’ah yang rahmatan lil ‘alamin khususnya menyangkut aspek hifz din bahkan termasuki hifz mal dalam pengertiannya yang luas sehingga memerlukan lebih jauh integrasi nilai-nilai syari’ah untuk mewujudkan kesejahteraan yang utuh dan hakiki.
Koperasi yang sejatinya berbasis prinsip syirkah/syarikah merupakan wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik dan halal adalah sesuatu yang sangat dipuji Islam berdasarkan firman Allah Swt: “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (QS.Al-Maidah:2) dan firman-Nya yang lain dalam surat An-Nisa’:12 dan Shaad:24. Nabi saw bahkan tidak sekedar membolehkan bentuk usaha ini melainkan memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits Qudsi: “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (HR.Abu Dawud dan Hakim) dan sabdanya yang lain: “Allah akan mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (HR.al-Bukhari)
Oleh karena itu tidak mengherankan jika kita temukan jejak koperasi berdasarkan prinsip syar’iah telah ada dan dikenal sejak abad III Hijriyah di Timur tengah dan Asia Tengah yang secara teoritis dikemukakan oleh filsuf Islam, al-Farabi. Bahkan As-Syarakhsi dalam al-Mabsuth sebagaimana dinukil oleh M. Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah ikut dalam suatu kemitraan usaha semacam koperasi diantaranya dengan Saibin Syarik di Madinah.
Persoalan mendasar dan isu popular yang sering muncul dalam wacana perkoperasian adalah bahwa koperasi merupakan organisasi ekonomi berbasis orang atau keanggotaan (membership based association) yang kini cenderung menjadi substantive power sebagai tulang punggung perekonomian di negara-nara maju sekalipun seperti terlihat dalam perkembangan dan pengembangan koperasi di Denmark, AS, Singapura, Korea, Jepang, Taiwan, dan Swedia, meskipun pada mulanya dalam pengalaman empiris hanya sebagai countervailing power (kekuatan pengimbang) terhadap kapitalisme swasta di bidang ekonomi yang didominasi oleh perusahaan berdasarkan modal persahaman (equity based association) yang sering menjadi sapi perahan bagi pemilik modal (share holders) dengan system dan mekanisme targeting yang memeras pengelola.
Spirit membership based association tersebut lebih sering teraktualisasikan dalam ‘tujuh kebajikan’ yang lazim dikenal dalam buku-buku modern sebagai social capital (modal sosial) yang menekankan semangat ekonomi kerakyatan yang telah mulai menggejala dan dikenal di era Hindia Belanda pada abad ke-19 sejak diberlakukannya UU Agraria 1870 sekaligus dihapuskannya sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) yang mendorong kepemilikan local (local ownership) dan inisiatif-inisiatif oleh rakyat setempat yang mendapatkan porsi signifikan.
Bung Hatta dalam buku ‘Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun’ mengkategorikan sebagai social capital, 7 nilai sebagai spirit koperasi yaitu: Pertama, kebenaran untuk menggerakkan kepercayaan (trust). Kedua, keadilan dalam usaha bersama. Ketiga, kebaikan dan kejujuran mencapai perbaikan. Keempat, tanggung jawab dalam individualitas dan solidaritas. Kelima, paham yang sehat, cerdas, dan tegas. Keenam, kemauan menolong diri sendiri serta menggerakkan keswasembadaan dan otoaktiva. Ketujuh, kesetiaan dalam kekeluargaan. Formula nilai yang dikemukkan Hatta ini parallel dengan apa yang diungkapkan oleh Kagawa, Bapak Koperasi Jepang dalam buku ‘Brotherhood Economics’ bahwa koperasi merupakan kemitraan ekonomi yang memacu kesejahteraan sosial bersama dan penghindaran dari pengisapan oleh kekuatan-kekeuatan yang meraih kedudukan istimewa dalam ekonomi.
Dalam impelemnetasinya tujuh nilai yang menjiwai kepribadian koperasi versi Hatta, dituangkan dalam tujuh prinsip operasional koperasi secara internal dan eksternal yaitu: Pertama, keanggotaan sukarela dan terbuka. Kedua, pengendalian oleh anggota secara demokratis. Ketiga, partisipasi ekonomis anggota. Keempat, otonomi dan kebebasan. Kelima, pendidikan, pelatihan dan informasi. Keenam, kerjasama antarkoperasi. Ketujuh, kepedulian terhadap komunitas.
Prinsip syariat Islam dalam kegiatan usaha pada dasarnya mempresentasikan tuntutan moral dalam mu’amalah. Haron dan Shanmugan (1997), sebagaimana juga dikemukakan Siddiqi, merangkum prinsip-prinsip dasar usaha yang sesuai dengan spirit syari’ah;
Prinsip kegiatan usaha dalam Islam mencakup kejujuran, dan perdagangan yang dilaksanakan dengan keimanan dan menjunjung tinggi amanah. Islam menggambarkan usaha sebagai perpaduan sinergis antara usaha yang jujur dan kerja keras bagi kelangsungan hidupnya. Manipulasi usaha dan malpraktek yang ditujukan untuk mendapatkan keuntungan yang tidak adil melalui kegiatan penimbunan, perdagangan di pasar gelap, melipatgandakan keuntungan, menyembunyikan kekurangan pada barang dagangan, dan korupsi tidaklah dapat dianggap sebagai suatu kegiatan usaha yang jujur.
Dalam tataran implementasi institusionalnya, prinsip-prinsip syari’ah dalam bisnis tersebut akan selaras dengan tujuan akonomis, bila disertai pemahaman dan komitmen dengan tujuan utama keberadaan lembaga usaha syari’ah sebagaimana disebutkan Haron dan Shanmugan (1997) mencakup beberapa hal yaitu: Pertama, lembaga usaha Islami dapat membantu masyarakat muslim untuk dapat bertransaksi sesuai norma Islam secara individual maupun sosial. Kedua, lembaga usaha Islam mempermudah masyarakat muslim untuk berperan serta dalam kegiatan mobilisasi dana bagi percepatan pembangunan ekonomi dan kemakmuran sesuai dengan prinsip Islam yang menjamin hak dan kewajiban individu maupun masyarakat terlaksana secara baik. Ketiga, lembaga usaha Islam diharapkan dapat memperkuat ikatan persaudaraan dan kekeluargaan yang berlandaskan kemslahatan bersama.
Sementara itu, menurut Khan (1983) beberapa prinsip utama syari’ah yang harus dipegang dalam setiap kegiatan usaha muslim adalah meliputi; larangan menggunakan riba dalam segala bentuknya, menjalankan kegiatan usaha dan perdagangan dengan dasar ekadilan dan kehalalan, memenuhi kewajiban membayar zakat, larangan monopoli, kerjasama dan kemitraan usaha yang berorientasi pada kemalshatan umat.
Dasar operasional ekonomi Islam menurut Ahmed (1986) meliputi tiga hal: Pertama, manusia bukanlah pemilik absolut sumberdaya, mereka hanyalah pemegang amanah dari Allah Swt. Dalam setiap sumberdaya dan kekayaan individual terdapat kewajiban social yang harus ditunaikan. Kedua, terdapat suatu aturan dan petunjuk moral agama dalam mencari kekayaan, karena ekonomi hanyalah salah satu aspek dari kemanusiaan. Ketiga, perhatian utama dari setiap kegiatan ekonomi adalah pencapaian kesejahteraan seluruh masyarakat meskipun Islam tidak pernah menghalangi kepemilikan individu. Solidaritas sosial dan tanggung jawab moral inilah benang merah yang mempertemukan nilai koperasi dengan nilai syari’ah.
Senada dengan hal itu, Chapra (2000) menyatakan bahwa perspektif dan paradigma Islam tentang ekonomi ditekankan pada dimensi sosioekonomi dimana tujuan akhir proses bukan hanya tercapainya sisi kesejahteraan ekonomi, akan tetapi juga meliputi persaudaraan dan keadilan social-ekonomi, penghargaan atas kehidupan, kesejahteraan, penghargaan individual, kekebasan dan kepuasan rohani, kebahagiaan keluarga serta harmonisasi kehidupan sosial. Memaksimalkan kekayaan dan konsumsi bukanlah tujuan utama. Menurut islam, masyarakat hanya bersifat sementara dalam menikmati pertumbuhan ekonomi apabila mengabaikan moral secara individual maupun masyarakat luas mengingat pentingnya filter moral dalam membentuk norma positif dalam masyarakat yang akan mempengaruhi perilaku konsumen.
Model perkoperasian keindonesiaan yang berbasis nilai Islam lahirlah sebuah paguyuban usaha semisal koperasi yang berdasarkan syari’ah dalam wadah gerakan dagang yang dikenal dengan ‘Syarikat Dagang Islam’ (SDI) oleh H. Samanhudi di Solo Jawa Tengah yang menghimpun anggotanya dari para pedagang muslim yang nota bene mayoritas pedagang batik saat itu. Meskipun pada perkembangan selanjutnya gerakan perkoperasian berbasis nilai syari’ah berubah menjadi ‘Syarikat Islam’ yang sarat dengan nuansa gerakan politik disamping ekonomi.
Dalam konteks budaya kemitraan yang diiusung koperasi, sebuah hasil penelitian sebagaimana dikemukakan oleh Afzalul Rahman dalam Economic Doctrines of Islam, bahwa terdapat beberapa kemiripan tipe kemitraan modern Barat dengan kemitraan Islam dengan dijumpainya banyak sekali bentuk kemitraan (syirkah) yang dipraktekkan oleh umat Islam hingga abad 18. Kedua bentuk kemitraan (Syirkah Islam dan Syirkah Modern) dibentuk oleh para pihak atas kesepakatan mereka sendiri dengan tujuan mencari dan membagi keuntungan secara proporsional dan mutual berdasarkan hokum negara. Menurut Rahman, sesungguhnya ketentuan pokok dan persyaratan kemitraan dalam kedua tipe koperasi tersebbut sama, kecuali pada bentuk kemitraan modern yang melibatkan riba (sistem bunga), sedangkan koperasi syar’iah (syirkah Islam) terbebas sama sekali dari unsur tersebut. Kesamaan antara kemitraan Inggris dan syirkah Islam sangat nyata meliputi: jenis mitra, hak dan kewajibannya, fungsi dan tugasnya terhadap pihak ketiga dalam hal yang berkaitan dengan hhutang dan sebagainya seperti tertuang dalam Peraturan Kemitraan Inggris tahun 1980 kurang lebihnya sama dengan yang dijabarkan prinsip syirkah dalam kitab fikih bermadzhab Hanafi ‘Al-Hidayah’.
Kesamaan yang sangat nyata itu cenderung mendorong kalangan peneliti berkesimpulan bahwa formulasi Peraturan Inggris tahun 1980 tersebut mengambil dari Al-Hidayah dan diterjemahkan oleh Charles Hamilton di bawah perlindungan Warren Hasting, Gubernur Jendral Bengal dan diterbitkan pada tahun 1870, di London dan menyadur empat bagian jenis kemitraan yang relevan yaitu syirkah dan mengajukannya ke Parlemen Inggris dengan sedikit editing di sana sini dari teks aslinya.
Pada akhirnya, yang menjadi persoalan di sini adalah koperasi model manakah yang sesuai bagi perekonomian Indonesia yang berbasis kerakyatan dan keagamaan. Apakah koperasi yang di daasarkan pada nilai-nilai tradisional ‘gotong royong’ kekeluargaan yang cenderung berpola keperasi sosial ataukah koperasi modern model Barat yang cenderung berpola koperasi ekonomi berbasis sistem pasar, ataukah ada formulasi model tengah ‘mix’ yaitu koperasi berbasisi nilai gotong royong yang modern dan serasi dengan nilai syri’ah yang dikenal dengan koperasi syari’ah? Tampaknya model mix terakhir inilah meskipun tidak berlabel syari’ah namun komitmen dalam operasionalnya berlandaskan nilai dan prinsip syari’ah yang lebih mendekati fitrah sunnatullah. Artinya sesuai dengan kebutuhan, potensi, kondisi dan norma agama yang semestinya untuk menghindarkan ekstrimitas ekonomi dan kesalahan materialisme sosialis maupun kapitali.
Dalam rangka mewujudkan keadilan ekonomi yang selaras dengan nilai syari’ah menurut Chapra (1999), Islam mempunyai konsep strategis yang meliputi reformasi seluruh sistem ekonomi melalui empat kebijakan penting yang saling mendukung dan sinergis yaitu: a. mekanisme filter yang disepakati masyarakat, b. sistem motivasi yang kuat untuk mendorong individu agar berbuat sebaik-baiknya bagi kepentingannya sendiri dan masyarakat, c. restrukturisasi dan reformasi komprehensif ekonomi dengan tujuan mewujudkan maqashiid syariah meskipun sumber-sumber yang ada itu langka, d. suatu peran pemerintah yang berorientasi tujuan yang positif dan kuat.
Sistem nilai syari’ah sebagai filter moral bertujuan untuk menghindari berbagai penyimpangan moral bisnis (moral hazard) dengan kmitmen menjauhi pantangan ‘MAGHRIB’ dalam kegiatan usaha termasuk koperasi yang meliputi 7 pantangan: Pertama, Maysir yaitu segala bentuk spekulasi judi (gambling) yang mematikan sector riil dan tidak produktif. Kedua, Asusila yaitu praktik usaha yang melanggar kesusilaan dan norma social. Ketiga, goror yaitu segala transaksi yang tidak transparan dan tidak jelas sehingga berpotensi merugikan salah satu pihak. Keempat, haram yaitu objek transaksi dan proyek usaha yang diharamkan syari’ah. Kelima, riba yaitu segala bentuk distorsi mata uang menjadi komoditas dengan mengenakan tambahan (bunga) pada transaksi kredit atau pinjaman dan pertukaran/barter lebih antar barang ribawi sejenis. Pelarangan riba ini mendorong usaha yang berbasis kemitraan dan kenormalan bisnis, disamping menghindari praktik pemerasan, eksploitasi dan pendzaliman oleh pihak yang memiliki posisi tawar tinggi terhadap pihak yang berposisi tawar rendah. Keenam, Ihtikar yaitu penimbunan dan monopoli barang dan jasa untuk tujuan permainan harga. Ketujuh, berbahaya yaitu segala bentuk transaksi dan usaha yang membayakan individu maupun masyarakay serta bertentangan dengan maslahata dalam maqashid syari’ah.
Karenanya, faktor moral ini sangat efektif untuk memoderatkan dan memanusiakan pengaruh yang akan ditimbulkan oleh kekayaan dan kekuasaan serta perantara keuangan dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Sebagaimana dengan tepat dinyatakan oleh Barrington Moore, “tidak ada masyarakat manusia yang dapat mengijinkan seluruh bentuk perilaku manusia. Jika ia mengijinkannya, ia segera tidak lagi menjadi sebuah masyarakat.” Atau sebagaimana dikatakan penyair muslim Syauki Beik, “Eksistensi umat akan lestari dengan ikatan moral, bila telah pudar maka akan buyar eksistensinya.”
Efesiensi dan keadilan tidak dapat diwujudkan hanya dengan memiliki suatu mekanisme filter yang baik. Perlu juga upaya memotivasi individu untuk berbuat sesuai dengan itu. Kapitalisme mengasumsikan bahwa kepentingan pribadi akan memotivasi individu untuk memaksimalkan efesiensi sementara persaingan akan berperan sebagai pembatas kepentingan pribadinya dan membantu menjaga kepentingan sosial. Dengan demikian diasumsikan oleh Adam Smith bahwa sistem pasar akan mampu menyelaraskan kepentingan pribadi dan sosial. Sosialisme tidak mempunyai individu dan mengasumsikan bahwa mengejar kepentingan pribadi mesti akan merugikan kepentingan sosial. Karena itu diusulkan agar pemilikan dan keuntungan pribadi dihapuskan dan kontrol negara yang ketat atas alokasi dan distribusi sumber-sumber daya untuk mengawal kepentingan sosial ditegakkan, padahal mengejar kepentingan pribadi oleh individu tidak selalu buruk dan negatif bila dibekali moral.
Islam memberikan suatu perspektif jangka panjang untuk perbuatan manusia, tetapi Islam juga tidak menghendaki individu melupakan kepentingan mereka sendiri di dunia ini karena tidak realistis. (Q.S.7:32). Alec Nove mengatakan bahwa suatu masyarakat yang hanya memperhatikan keuntungan pribadi saja akan jatuh berkeping-keping. Korupsi dalam pengertian harfiah akan berkembang dimana ‘pembuat uang’ menjadi aspirasi utama dan kriteria utama keberhasilan. Demikian pula, Joseph schumpeter juga mengamati bahwa tidak ada sistem sosial yang dapat berjalan…dimana setiap orang tidak dibimbing oleh sesuatu apapun melainkan kepentingan utilitariannya sendiri yang berjangka pendek. Suatu keseimbangan dan keadilan (mizan, menurut istilah al-Qur’an 55:7-9) adalah mutlak untuk menjamin kesejahteraan sosial dan pembangunan potensi manusia yang berkelanjutan.
Rekonstruksi dan reformasi ekonomi harus memperhatikan berbagai aspek dan masalah: Pertaama, menghidupkan faktor manusia dengan motivasi individu dan menjadikannya mampu melaksanakan tugas-tugasnya dengan tujuan mewujudkan efesiensi dan keadilan. Kedua, mengurangi pemusatan kekayaan dan kekuasaan ekonomi dan politik yang ada. Ketiga, mentransformasikan semua institusi sosial, ekonomi dan politik termasuk keuangan publik dan intermediasi keuangan, menurut prinsip-prinsip syariah Islam, untuk membantu memperkecil pemborosan dan konsumsi yang tidak perlu dan meningkatkan investasi untuk memenuhi kebutuhan, ekspor dan meningkatkan lapangan kerja dan usaha.
Dengan demikian, yang diperlukan adalah reformasi umat manusia, dan transformasi semua pola konsumsi, investasi, pemilikan alat-alat produksi dan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik. Semakin besar kelangkaan sumber-sumber daya atau ketidak seimbangan dan semakin besar lebar jurang antara maqashid dan realitas, semakin besar pula restrukturisasi yang diperlukan. Unsur kunci restrukturisasi, yang dipandang sangat penting oleh Islam menurut Chapra (2000) ialah mencakup: a. penggunaan dengan hati-hati sumber-sumber yang merupakan amanat, b. masyarakat yang dapat menolong dirinya sendiri melalui pembayaran zakat dan sedekah-sedekah lain, c. pewarisan dan, d. reorganisasi sistem keuangan.
Suatu restrukturisasi yang menyeluruh semacam demikian boleh jadi tidak mungkin melainkan jika negara berperan aktif (political will) dalam semua sektor ekonomi (makro dan mikro, keuangan dan riil, perbankan dan non perbankan) agar memiliki kesesuaian terhadap prinsip syariah (sharia complience) yang menjamin dan menjanjikan keadilan ekonomi. Peranan pemerintah dalam ekonomi selalu menempati posisi penting dalam pemikiran politik Islam dari masa awal hingga kini dalam wacana al-ahkam as-sulthaniyah (hukum tata negara Islam), maqashid asy-syari’ah, as-siyasah asy-syar’iyyah (sistem politik syariah) dan al-hisbah (fungsi pengawasan publik).
Pemerintah dan swasta yang meliputi individu maupun masyarakat luas dalam hal ini wajib mentransformasikan nilai-nilai syari’ah dalam nilai-nilai koperasi secara sinergis dan integral yang meliputi 7 nilai syariah dalam bisnis yaitu: Pertama, shiddiq yang mencerminkan kejujuran, akurasi dan akuntabilitas. Kedua, istiqamah yang mencerminkan konsistensi, komitmen dan loyalitas. Ketiga, tabligh yang mencerminkan transparansi, control, edukatif dan komunikatif. Keempat, amanah yang mencerminkan kepercayaan, integritas, reputasi dan kredibelitas. Kelima, fathanah yang mencerminkan etos profesional, kompeten, kreatif, inovatif. Keenam, ri'ayah yang mencerminkan semangat solidaritas, empati, kepedulian, awareness. Ketujuh, mas'uliyah yang mencerminkan responsibilitas.
Koperasi dalam tata nilai syari’ah sangat strategis dalam mengembangkan sumberdaya dan mendistribusikannya secara adil. Hal itu karena diantara ketentuan syari’ah adalah kewajiban mengeluarkan harta (asset) yang tersedia untuk diputar, diusahakan dan diinvestasikan secara halal, karena uang dan harta itu ada bukan untuk ditahan dan ditimbun sehingga menjadi aset nganggur (idle) yang berarti sama dengan memubadzirkan nikmat dan tikak mensyukurinya. Akan tetapi uang itu dibuat untuk dipergunakan dan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai alat tukar (medium of excange) dan pembayaran, alat ekspansi dalam investasi. Sekali lagi, semata-mata sarana atau alat dan tidak boleh berubah menjadi tujuan, apalagi menjadi berhala yang disembah. Kalau demikian adanya maka akan menjadi penyebab kenistaan dan kehancuran, “Merugikan hamba dinar, merugilah hamba dirham.” Demikian sabda Rasulullah SAW.
Imam Ghazali di dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin berbicara tentang fungsi uang dalam kehidupan berekonomi dengan pembahasan yang lebih rinci dan detil dibandingkan para pakar ekonomi sekarang ini. Beliau mengungkapkan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan dirham dan dinar (uang) itu untuk dioperasionalisasikan oleh tangan manusia dan agar keduanya menjadi cermin, hakim dan wasit yang merefleksikaan nilai harta yang ada secara adil dan apa adanya. Karena pada dasarnya keduanya mulia dan tidak ada tujuan pada mata uangnya dan disandarkannya pada segala sesuatu itu satu. Maka barang siapa yang memilikinya, maka ia tidak memiliki kecuali baju itu. Tidak seperti orang yang memilih baju, maka ia tidak memiliki kecuali baju itu. Sehingga setiap orang yang bekerja untuk memperoleh uang tetapi caranya tidak sesuai dengan hukum bahkan bertentangan dengan hukum, maka ia telah kufur terhadap nikmat Allah berupa emas dan perak. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak membelanjakannya paada alokasi yang diridhai Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. “(At-Taubah:34).
Dalam konteks inilah, Allah SWT mewajibkan zakat emas dan perak dalam setiap tahun, baik dikembangkan oleh pemiliknya untuk mengembangkan dan menginvestasikannya, sehingga tidak “habis dimakan” oleh zakat pada setiap tahunnya. Inilah yang diperintaahkan oleh hadis Rasulullah SAW kepada para pemelihara anak yatim terhadap harta mereka dengan perintah yang jelas, yaitu agar mereka mengembangkan harta tersebut sehingga mendatangkan kemanfaatan dan tidak “dimakan” oleh zakat.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai koperasi yang tampak jelas dalam jatidiri koperasi (Co-operative Identity) sebagaimana dirumuskan oleh kongres International Co-operative Alliance (ICA) ke-100 di Manchester, Inggris pada bulan September 1995 yang disusun kembali oleh Prof. Dr. Ian MacPherson, tokoh perkoperasioan internasional kelahiran Canada yaitu berupa 7 nilai; menolong diri sendiri, swa tanggung jawab, demokrasi, persamaan, keadilan, kesetiakawanan dan kejujuran serta meliputi 7 prinsip operasional yaitu keanggotaan terbuka dan sukarela, pengendalian oleh anggota secara demokrasi, partisipasi ekonomi anggota, otonomi dan kemerdekaan, pendidikan, pelatiha, dan informasi, kerjasama antar koperasi, dan kepedulian terhadap lingkungan, secara umum sudah selaras dan serasi dengan nilai-nilai syari’ah.
Namun semua nilai dan prinsip koperasi tersebut pada konteks kegiatan usahanya, hanya akan berjalan sinergis dengan nilai-nislai syari’ah jika dapat menghindarkan diri dari ketujuh pantangan bisnis dalam syari’ah. Bahkan koperasi dapat kehilangan identitas (jatidinya) bila melakukan praktek riba dengan menggunakan skim bunga dalam kegiatan usaha maupun simpan pinjamnya karena bertentangan dengan spirit kemitraan, keadilan dan kepedulian terhadap lingkungan, dimana system bunga tidak peduli dengan apapun nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok modalnya sebagaimana kesimpulan para peneliti dan parktisi keuangan dan ekonomi.
Disamping itu, perlu pendekatan komprehensif dalam upaya sinergi kedua nilai tersebut, sebab dalam ketiadaan suatu pendekatan yang komprehensif sedemikian ini tidak mungkin ada strategi yang efektif; yang ada hanyalah adonan dari kebijakan-kebijakan dan ramuan jatidiri yang tidak serasi, tumpang tindih, tambal sulam dan sia-sia. Kesimpulan sempit bahwa bisnis yang berbasis nilai syari’ah hanya didasarkan pada tiga hal: norma-norma perilaku (moral), zakat, dan pengharaman bunga aadalah kurang tepat. Sekalipun ketiga hal ini berperan penting dam restrukturisasi ekonomi, ketiganya bukan merupakan keseluruhan sistem ekonomi Islam. Bahkan efektivitas ketiganya adalah karena didukung dan diperkuat oleh mekanisme filter nilai yang tepat, sistem motivasi yang kuat, restrukturisasi yang efektif dan suatu peranan positif pemerintah dan kesadaran bersama para pelaku bisnis. Tanpa dukungan semisal diatas, ketiga hal ini tidak dapat memikul beban tanggung jawab untuk mewujudkan maqashid. Ini hanya laksana melihat tengkorak kepala, dada dan kaki dari sebuah kerangka dan mengatakan bahwa ini adalah manusia. Walaupun ketiganya merupakan bagian penting tubuh manusia, mereka hanya akan berarti bila ada nyawa dan semua sistem tubuh lainnya semisal otot, urat daging, hati dan otak, sehat, dan berfungsi dengan baik. Tidak satupun dari semua itu akan membentuk manusia jika dipisah-pisaah. Ini menunjukan perbedaan antara ramuan-ramuan yang terpisah dari keseluruhan resep. Ramuan-ramuan yang terpisah tidak akn memberikan rasa, aroma dan warna suatu makanan, tidak peduli betapa pun pentingnya suatu ramuan tersebut dalam resep itu.
Syari’at dan filosofi zakat misalnya, bukan sekedar nilai yang harus ditaati oleh setiap muslim untuk kesejahteraan dirinya di dunia dan di hari akhir, semua itu juga memiliki peranan penting dalam restrukturisasi ekonomi dan mewujudkan maqashid syari’ah. Tata nilai koperasi dan syari’ah harus diterima dan diterapkan secara keseluruhan, bukan sepotong-potong (parsial), agar bisa benar-benar efektif mencapai visi dan misinya, karena penerimaan dan penerapan yang sepotong-potong atas nilai-nilai tidak aakan menjamin teraktualisasikannya tujuan sebagaimana ditegaskan al-Qur’an.
Firman Allah SWT.: “Apakah kamu sekalian hanya beriman kepada sebagian kitab dan menolak sebagian yang lain? Maka tiada lain balasan bagi orang-orang diantara kamu sekalian yang berbuat demikian selain mereka akan dipermalukan di dunia dan di akhirat mereka akan menerima siksa yang pedih?”(QS. Al-Baqarah:85) “Hai orang-orang yang beriman! Masuk islamlah kamu dengan keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah musuh yang nyata.” (Q.s. 2:208). “Tuhan tidak akn mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Q.s. 13:11)
Dengan demikian diperlukan pendekatan, langkah dan kebijakan transformasi serempak, kompak dan terkoordinasi secara komprehensif dalam mengaktualisasikan total sistem nilai koperasi, ekonomi dan syari’ah dalam rangka mewujudkan ekonomi yang berkeadilan dan menyejahteraka bagi semua dan rahmatan lil ‘alamin. Wallahu Al’am wa Billahit Taufiq wal Hidayah.

Comments :

0 komentar to “Syariah Menjiwai Kesejatian Koperasi Indonesia”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE