Thursday, April 30, 2009

KEPUTUSAN FATWA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG WAKAF UANG



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah
Menimbang : a. bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahui, antara lain, adalah:
حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِيْ رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرَفٍ مُبَاحٍ مَوْجُوْدٍ (الرملي والشربيني)
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut, disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, [Beirut: Dar al-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376);
atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam” (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4));
sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf al-nuqud, cash wakaf) adalah tidak sah;
b. bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain;
c. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat.
Mengingat : 1. Firman Allah SWT:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ، وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ (آل عمران: 92)
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali Imran [3]: 92).
2. Firman Allah SWT:
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (261) الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ لاَ يُتْبِعُونَ مَا أَنْفَقُوا مَنًّا وَلاَ أَذًى لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ (262)
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [2]: 261-262).
3. Hadis Nabi s.a.w.:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا مَاتَ اْلإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه مسلم، 3084؛ والترمذي، في الأحكام عن رسول الله، في الوقف، 1297؛ والنسائي، 3591؛ وأبو داود، 2494).
"Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali dari tiga hal, yaitu kecuali dari sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud).
4. Hadis Nabi s.a.w.:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ عِنْدِي مِنْهُ، فَمَا تَأْمُرُ بِهِ؟ قَالَ: إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا، قَالَ: فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ وَلاَ يُوهَبُ وَلاَ يُورَثُ، وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ. قَالَ: فَحَدَّثْتُ بِهِ ابْنَ سِيرِينَ، فَقَالَ: غَيْرَ مُتَأَثِّلٍ مَالاً (رواه البخاري، في الشروط في الوقف: 2532؛ ومسلم، الوصايا، الوقف، 3085؛ والترمذي، في الأحكام عن رسول الله، في الوقف، 1296؛ و النسائي، في الأحباس: 3541)
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. bahwa Umar bin al-Khaththab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w. untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah! Saya memperoleh tanah di Khaibar; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apa perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.”
Ibnu Umar berkata, “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasil)-nya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik.”
Rawi berkata, “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata ‘ghaira muta’tstsilin malan (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik)’.” (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i).
5. Hadis Nabi s.a.w.:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ عُمَرُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الْمِائَةَ سَهْمٍ الَّتِي لِي بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَعْجَبَ إِلَيَّ مِنْهَا، قَدْ أَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا؛ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: احْبِسْ أَصْلَهَا وَسَبِّلْ ثَمَرَتَهَا (رواه النسائي، كتاب في الأحباس، باب حبس المشاع: 3546)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; ia berkata, Umar r.a. berka-ta kepada Nabi s.a.w., “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.a.w. berkata, “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah.” (H.R. al-Nasa’i).
6. Jabir r.a. berkata:
مَابَقِيَ أَحَدٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وآله وسلم لَهُ مَقْدِرَةٌ إِلاَّ وَقَفَ وَقْفًا (الخطيب الشربيني: 2/376؛ وهبة الزحيلي: 8/157)
“Tak ada seorang sahabat Rasul pun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf.” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 157; al-Khathib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376).
Memperhatikan : 1. Pendapat Imam al-Zuhri (w. 124 H.) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997], h. 20-21).
2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a.:
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ (مسند أحمد بن حنبل، كتاب مسند المكثرين من الصحابة، باب مسند عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، رقم 3418).
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i:
وَرَوَى أَبُوْ ثَوْرٍ عَنِ الشَّافِعِيِّ جَوَازَ وَقْفِهَا أي الدنانير والدراهيم
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], juz IX, h. 379).
4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran mengingat [adillah] nomor 4 dan 3 di atas: احبس أصلها وسبل ثمرتها;
5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai berikut:
حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ اْلاِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ أَوْ أَصْلِهِ بِقَطْعِ التَّصَرُّفِ فِيْ رَقَبَتِهِ عَلَى مَصْرَفٍ مُبَاحٍ مَوْجُوْدٍ.
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,”
5. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, (terakhir) nomor t.1.III/5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002.
MEMTUSKAN
Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG
Pertama : 1. Wakaf Uang (Cash Wakaf/Waqf al-Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh).
4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy (مصرف مباح).
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan.
Kedua : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 28 Shafar 1423 H/11 Mei 2002 M
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H. MA’RUF AMIN


Sekretaris,
Drs. HASANUDIN, M.Ag.



Comments :

0 komentar to “KEPUTUSAN FATWA KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG WAKAF UANG”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE