Monday, April 20, 2009

Prospektus Keuangan Islam Global


Selasa, 6 Januari 2009, publik Jerman dikejutkan dengan aksi bunuh diri Adolf Merckle, orang terkaya nomor lima di negaranya atau orang terkaya nomor 94 di dunia versi majalah Forbes pada 2008. Merckle menabrakkan dirinya ke kereta api yang sedang berjalan di Blaubeureun di barat daya Jerman. Pihak keluarga sebagaimana dikutip Reuters menyatakan, penyebab bunuh diri Merckle karena mengalami kerugian investasi di pasar saham akibat krisis finansial. Kerugian yang dialaminya sebesar 400 juta Euro.
Kematian Merckle menambah daftar panjang pelaku bunuh diri selama krisis setelah sebulan sebelumnya, manajer investasi asal Perancis Thierry Magon de la Villehuchet juga melakukan hal yang sama. Thiery mengakhiri hidupnya akibat tertipu Madoff sebesar USD1,4 miliar. Di Indonesia, ekses krisis juga telah membawa korban jiwa seperti yang dialami oleh Manager Sarijaya Sekuritas, Afwan Surya Hendra. Afwan ditemukan tewas gantung diri digarasi mobil rumahnya, di Jakarta Timur.
Kasus-kasus yang disebutkan menandakan betapa dahsyatnya dampak sosio-psikologis dari krisis finansial global. Krisis tidak hanya mengakibatkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaannya, namun juga telah merenggut korban jiwa.
Krisis finansial yang episentrumnya berasal dari Amerika Serikat (AS) ini, kini telah menjalar ke seantero jagad. Dalam dunia finansial modern, krisis semacam memang bukan barang baru dan tidak kali ini saja datang. Menurut Roy Davies dan Glyn Davies, dalam The History of Money From Ancient time oi Present Day, selama abad 20 telah terjadi lebih dari 20 kali krisis besar, beberapa di antaranya bersifat global.
Hal itu menandakan terdapat something wrong dalam sistem keuangan konvensional modern. Jika dicermati, krisis sekarang berawal dari credit crunch sektor properti.
Dampak credit crunch dengan cepat menjalar ke semua lembaga keuangan AS karena adanya produk derivatif berbasis mortgage. Produk derivatif seperti CDO (Collateralized Debt Obligation), dan Credit Default Swap (CDS) awalnya sangat digandrungi investor karena memberikan imbal hasil (yield) tinggi daripada suku bunga perbankan. Namun ketika terjadi gagal bayar nasabah perumahan, nilai produk tersebut menurun drastis sehingga mengakibatkan kolapsnya banyak lembaga keuangan.
Sebelum terjadinya krisis, perbankan AS memang gemar mengucurkan uangnya di pasar finansial daripada memberi kredit ke sektor riil. Hal itu mengakibatkan terjadinya gelembung ekonomi atau 'bubble' di pasar finansial. Buktinya, nilai Produk Domestik Bruto (PDB) AS pada tahun 2007 sebesar USD 14 triliun dolar AS. Sedangkan kapitalisasi produk-produk derivatif mencapai USD 60 triliun.
Bangkrutnya industri keuangan AS juga tidak lepas dari disiplin pelaku pasar yang rendah terhadap regulasi. Kasus Madoff yang merugikan investor hingga senilai USD 160 miliar menjadi bukti hal itu. Dalam pengakuannya, Madoff dapat memalsukan laporan keuangan perusahaan sekuritasnya karena dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Krisis finansial yang terjadi sekarang juga tidak dapat dilepaskan dari tingkat konsumsi masyarakat AS yang tergolong tinggi. Merujuk riset Morgan Stanley, pada 2007 tingkat konsumsi AS mencapai 72 persen dari PDB. Daya konsumsi itu bukan dipicu dari pendapatan, melainkan hasil utang. Dengan demikian, perekonomian AS sebenarnya tumbuh karena hasil utang.
Akibat krisis pasar saham AS mengalami kerugian cukup besar hingga sebesar USD50 triliun. Barang kali angka kerugian ini terbesar sepanjang sejarah umat manusia yang mendiami planet bumi ini. Untuk mengatasi dampak krisis, pemerintah AS telah berkomitmen menyediakan dana sebesar USD 8,5 triliun. Rinciannya dana sebesar USD 5,8 triliun uang The Fed untuk membeli aset-aset finansial yang busuk. Selain itu dana sebesar USD 2 triliun untuk skema lain dan USD 700 miliar untuk bail out.
Jika dibandingkan dengan dana Marshal Plan (bantuan AS untuk pembangunan negara-negara Eropa Barat usai Perang Dunia II) sebesar USD 115 miliar, maka nilai finansial untuk mengatasi krisis sekarang jauh lebih besar. Sekali lagi, hal itu menunjukkan betapa kolosalnya krisis keuangan yang terjadi sekarang.
Meskipun dunia sedang menghadapi krisis keuangan yang paling parah, namun sebagian pakar ekonomi konvensional masih banyak yang merasa santai saja karena krisis semacam ini merupakan bagian dari karakteristik ekonomi kapitalis. Dalam kapitalisme, adalah menjadi hal biasa dunia perekonomian mengalami business cycle yang berputar dari krisis menuju recovery, dari booming menjadi resesi. Dalam pandangan mereka mata rantai yang membentuk lingkaran setan ini dianggap taken for granted, karena itu tidak perlu dirisaukan. Nanti juga akan kembali menjadi normal lagi.
Akan tetapi sebagian dari para ekskutif dan pelaku bisnis keuangan konvensional mulai berpikir lain. Mereka melihat sistem keuangan dengan paradigma yang berbeda yaitu sistem keuangan Islam atau yang dikenal di Indonesia dengan keuangan syariah. Data menunjukkan bahwa di saat terjadi krisis yang menimpa sistem finansial dunia, ada lembaga keuangan yang tidak terkena dampaknya, terutama jika dilihat dari penyebab krisis tersebut.
Siapapun yang mencoba mempelajari sistem keuangan Islam secara jujur dan objektif akan menemukan keunggulan sistem ini dibandingkan dengan sistem tradisional konvensional. Hal ini diungkap oleh Joseph Yam, Kepala Eksekutif Otoritas Moneter Hongkong. Setelah mempelajari secara sekilas, ia mengatakan "Keuangan Islam memberi dorongan kepada aktivitas bisnis yang mampu menghasilkan keuntungan yang legitimat (halal) dan didasarkan pada prinsip keadilan, berbagi risiko dan praktek moral yang baik.
Harapan Vatikan
Kini perhatian kepada sistem keuangan syariah tidak hanya menjadi monopoli para pakar dan pelaku bisnis keuangan global belaka. Bahkan editorial mingguan milik resmi Vatikan L Osservatore Romano telah menerbitkan sebuah artikel mengenai keunggulan keuangan Islam pada tanggal 4 Maret 2009. Editorial mingguan itu menulis, kami yakin keuangan syariah dapat memberi kontribusi untuk merombak dan memperbaiki aturan keuangan barat. Pada bagian lain ditulis “prinsip-prinsip etika yang menjadi basis dari keuangan Islam dapat membawa perbankan lebih dekat kepada para nasabah dan ruh pelayanan yang tulus akan membedakannya dari pelayanan perbankan (konvensional)”. Bahkan editorial mingguan Vatikan ini berharap Sukuk dapat dipergunakan, umpamanya, untuk menolong industri mobil yang paling parah terkena dampak (krisis) atau untuk membangun stadium olimpiade yang akan datang di London.
Peraih nobel ekonomi tahun 1999, Joseph E Stiglitz, mengemukakan gagasan yang mirip dengan konsep keuangan syariah. Stiglitz mengajukan tawaran perlunya sistem ekonomi baru yang lebih memperhatikan keseimbangan antara sektor riil dan moneter. Ikhwan A. Basri Anggota Dewan Syariah Nasional (Sumber; Republika, Senin, 20 April 2009)



Comments :

0 komentar to “Prospektus Keuangan Islam Global”

Post a Comment

Blog Archive

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE