Thursday, March 05, 2009

MANAJEMEN CINTA




MANAJEMEN CINTA

Fenomena keterhanyutan dan kelarutan generasi muda ke dalam jebakan kampanye cinta palsu yang menyesatakan dalam bungkus life's style bergaya Valentine's Day beberapa tahun belakangan ini lebih merefleksikan gejala umum degub jiwa kepenasaranan, kehausan dan sekaligus kebingungan akan makna cinta dari kalangan generasi muda disamping ekspresi dari absurditas dan ketidakarifan memamahi makna cinta dari kalangan industri momentum kasih sayang dan cinta. Budaya ber-valentine's-ria dikalangan remaja memang fenomenanya telah menjadi gejala yang memperhatinkan seperti pengalaman saya pada suatu kali di pusat perbelanjaan bersama istri berbelanja tiba-tiba terhenyak dengan ucapan sepontan mereka ketika bertemu sesamanya dengan ucapan 'happy valentine'. Kaget karena menjadi tradisi yang tidak pantas dalam tradisi ketimuran apalagi keislaman.Cinta sebagaimana fitrahnya merupakan anugerah dan cinta juga musibah. Cinta menjadi kenimatan bila karena Allah dan dijalan-Nya (Al-Hubb Fillah wa Lillah). Cinta islami demikian tidaklah mengenal batas ruang dan waktu serta melampauai batas fisik materi. Cinta yang fitri kata orang bijak adalah buah yang tak mengenal musim dan dapat dipetik oleh siapapun. Cinta yang demikian tak jadi masalah kepada siapa dan seberapa besar asalkan karena Allah dan dijalan-Nya. Inilah rumus cinta suci segitiga dalam Islam; cinta proporsional (equillibrium love) antara cinta kepada Allah yang tidak menelantarkan cinta kepada makhluk, dan cinta kepada makhluk yang tidak melalaikan bahkan senanatiasaa dalam cinta kepada Allah Sang Khalik.Perasaan cinta pada dasarnya sebuah kenikmatan. Betapa indahnya hidup yang dipenuhi cinta sejati dan betapa sengsaranya hidup yang dipenuhi kebencian. Orang yang dipenuhi semangat cinta yang suci mulia akan selalu merasa bahagia sebelum orang lain bahagia sehingga mendorongnya untuk memiliki sikap tenang, damai, puas dan ridho. Bahkan cinta merupakan energi dahsyat kehidupan yang mengilhami Lao Tzu, filsuf Cina yang hidup sekitar abad ke-6 SM untuk merangkai kata mutiara bahwa dicintai secara mendalam oleh seseorang aakan memberimu kekuatan, dan mencintai seseorang secara mendalam akan memberimu keberanian. Demikian Plato filsuf Yunani kuno juga berkesimpulan bahwa cinta adalah sumber keindahan sehingga dengan sentuhan cinta setipa orang dapat menjadi pujangga.Perasaan cinta yang dialami setiap jiwa manusia memang sebuah misteri sebagaimana fenomena ruh (jiwa). Nabi saw. bersabda: “Ruh itu laksana pasukan yang dikerahkan, maka seberapa jauh mereka saling mengenal maka sejauh itu pula mereka saling menyatu, dan seberapa jauh mereka tidak saling mengenal maka sejauh itu pula mereka akan berselisih.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud). Menyatunya jiwa sesama mukmin dalam cinta begitu kuat dan tetap hidup seperti satu tubuh sebagaimana diumpamakan Nabi saw. dalam hadits riwayat Imam Muslim. Begitu kuatnya pengaruh cinta sehingga kadang dapat menghilangkan kontrol emosi dan keseimbangan rasio sehingga tidak mampu bersikap objektif.Mabuk asmara sebagaimana dikatakan filosof Plato merupakan cinta buta yang bergelora dalam jiwa yang kosong. Aristoteles juga berujar: “Cinta buta adalah cinta yang buta untuk melihat kesalahan orang yang dicintai. Cinta buta adalah kebodohan yang membalikkan hati yang hampa, sehingga ia tidak lagi mau memikirkan yang lain.”. Oleh karena itu perlu manajemen cinta untuk menghindarkan ekses negatif dan efek kegilaan cinta yang menjurus kepada cinta buta yang sangat berbahaya sebagaimana dilukiskan penyair Qais : “Kau gila karena orang yang kau cinta. Memang cinta buta itu lebih parah dari gila. Orang tidak bisa sadar karena cinta buta, sednga orang gila bisa terkapar tak berdaya”. Bahkan yang lebih parah lagi bila cinta menghanyutkan seseorang sehingga melupakannya dari prioritas cinta lainnya seperti melupakan ataupun menduakan cinta kepada Allah yang dapat berakibat syirik.Cinta memang persoalan hati (qalbu) dan hati seperti namanya adalah bersifat labil (yataqallabu) sehingga yang diperlukan adalah upaya maksimal lahir batin dalam pengendaliannya secara adil untuk setiap yang berhak atasnya. Nabi saw memaklumi fenomena batin ini dalam pengakuaannya: “Ya Allah, inilah usahaku sebatas kuasaku, maka janganlah Engkau cela diriku tentang apa yang Engkau kuasai dan aku tidak kuasai (hati).” (HR. Abu Dawud). Melalui proses manajemen dan pengendalian cinta, seseorang dapat menjadikan perasaan cinta sebagai motivasi kontrol dalam kerangka kebajikan dan kemuliaan. Inilah esensi pesan Risalah Islam menganai Alhubb wal Bughdhu fillah (Cinta dan benci karena Allah) sehingga kita tidak akan termakan oleh doktrin sinetron yang menyesatkan seperti sinetron “Kalau cinta jangan marah”. Hal itu karena kemarahan dalam perspektif manajemen cinta merupakan kelaziman cinta sejati yang diekspresikan dalam bentuk yang arif bijaksana tanpa keluar jalur syariat sebagaimana kemarahan Nabi saw diungkapkan dalam bentuk ekspresi perubahan mimik muka, diam, atau isyarat lainnya sebagai peringatan yang selanjutnya diberikan penjelasan dan dialog dari hati kehati. Karenanya, beliau tidak menyukai lelaki yang suka memukul wanita bila marah apalagi sampai menampar wajah. Sebaliknya beliau juga tidak menyukai wanita yang meninggalkan atau mengkhianati suaminya bila sedang marah. Manajemen cinta akan menumbuhkan sikap adil dalam cinta yang membawa hidup sehat dan seimbang (tawazun) dan bukan menjadi sumber penyakit sebagaimana Ibnul Qayyim sampaikan bahwa cinta bagi ruh sama dengan fungsi makanan bagi tubuh. Jika engkau meninggalkannya tentu akan membahayakan dirimu dan jika engkau terlalu banyak menyantapnya serta tidak seimbang tentu akan membinasakanmu. Kelezatan hidup inilah yang dilukiskan dalam hadis tentang kelezatan iman: “Ada tiga perkara yang siapapun memilikinya niscaya akan marasakan kelezatan iman; barang siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari lainnya, barang siapa yang mencintai seseorang hanya karena Allah, dan siapa yang benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dicampakkan ke dalam neraka.” (HR.Bukhari dan Muslim) Proses menuju cinta suci yang diberkati Allah tidaklah mudah sehingga memerlukan upaya manajemen diri termasuk pengendalian ego dan penumbuhan rasa empati serta solidaritas sebagai persyaratan iman. Sabda Nabi saw: “Tidaklah beriman seseorang diantara kalian sampai ia mencintai saudaranya (seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” Bahkan cinta sesama mukmin merupakan ssyarat masuk syurga “Tidaklah kalian akan masuk surga sampai kalian beriman dan kalian tidak akan beriman sehingga kalian saling mencintai.” (HR. Muslim) Cinta yang dikehendaki Islam adalah cinta sejati dan arif bukan cinta buta yang bodoh. Manajemen cinta mengajarkan agar perasaan cinta kepada seseorang tidak menghalangi kita untuk tetap melakukan segala hal yang semestinya kita kerjakan. Sehingga kita tidak akan melakukan ataupun meninggalkan segala hal demi rasa cinta ataupun mendapatkan cinta dari orang yang kita cintai meskipun hal itu bertentangan dengan kemaslahatan (kebaikan) dirinya, membahayakan orang lain dan menimbulkan kerusakan di muka bumi atau memancing kemarahan Allah. Karena sikap demikian merupakan cinta buta yang bodoh. Sebagai contoh seorang ibu yang begitu memanjakan anaknya karena cintanya yang mendalam sampai melupakan pendidikan dan pengajarannya yang pada gilirannya justru akan menjadi bumerang bagi orang tuanya karena menjadi anak durhaka. Adapun cinta yang arif sejati adalah sebagaimana cinta Allah kepada hamba-Nya dan cinta Rasulullah kepada umatnya sehingga yang dinginkan Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah kebaikan, kesempurnaan dan kemuliaan dengan membenci segala kemungkaran dan kejahatan. (QS. Fathir:35, Al-Kahfi:18).Seorang muslim tidak mengenal cinta monyet, cinta buta, cinta dusta, cinta palsu dan cinta bodoh. Ia hanya mengenal cinta suci mulia yang penuh karifan dan kesadaran yang melahirkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya dan meletakkan cinta tersebut di atas segala-galanya sebagai tolok ukur cinta lainnya. Suatu ketika seorang arab badui menghadap Nabi saw dan menanyakan perihal datangnya kiamat, lalu beliau balik bertanya: “Apa yang telah kau persiapkan?” Ia menjawab: “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya” Beliau menyahut: “Engkau bersama siapa yang kau cintai” (HR.Bukhari dan Muslim) Cinta karena Allah dan benci karena Allah akan menjadi filter, kontrol sekaligus tolok ukur dalam mencintai segala hal. Dengan demikian cinta yang tulus karena Allah Dzat Maha Abadi inilah yang akan bertahan abadi sementara cinta yang dilandasi motiv lainnya justru yang akan cepat berubah, bersifat temporer dan akan membuahkan penyesalan. (QS.Az-Zukhruf:43, Al-Furqan:25) Manajemen cinta mendidik sikap selektif dalam menambatkan dan melabuhkan cinta serta memilih orang-orang yang masuk dalam kehidupan dirinya. Nabi berpesan: “Seseorang akan mengikuti pola hidup orang dekatnya maka hendaklah kalian mencermati siapa yang ia pergauli.” (HR. Ahmad, At-Turmudzzi dan Baihaqi). Sabdanya pula: “Jangnalah engkau berakraban kecuali kepada seorang mukmin dan janganlah menyantap makananmu kecuali orang yang taqwa.” (HR. At-Turmudzi dan Abu Dawud). Diantara konsekuensi sikap selektif dalam cinta ini adalah sikap arif dalam memilih pasangan hidup. Nabi saw. bersabda: “Seorang wanita dinikahi karena empat hal; hartanya, status sosialnya, kecantikannya dan agamanya, maka pilihlah yang kuat agamanya niscaya kamu diberkati” (HR.Bukhari dan Muslim). Sabdanya yang lain: “Jika seseorang yang engkau puas dengan kondisi agama dan akhlaknya melamar kepadamu maka nikahkanlah ia. Sebab jika tidak kau lakukan maka akan timbul fitnah dimuka bumi dan kerusakan yang dahsyat.” (HR.At-Turmudzi) Demikian pula larangan tegas al-Qur’an untuk mengambil pasangan hidup dari yang berlainan akidah karena ikatan Allah adalah yang paling kuat sementara lainnya adalah rapuh. (QS.Al-Baqarah: 32)Tatkala pilihan cinta kita sudah tepat maka masih diperlukan pemeliharaan secara proporsional, karena cinta adalah buah iman dan iman seseorang selalu mengalami fluktuasi dan dinamika seiring dengan baik buruknya perlakuan dan sikap hidup. Kalau cinta diibaratkan tanaman maka ia memerlukan siraman, pemupukan, perawatan dan penjagaan secara kontinyu. Cinta yang sudah tepat labuhnya sekalipun (sefikrah dan sekufu misalnya) dapat redup ataupun mati bila tidak dipelihara. Dalam pengalaman keseharian seseorang sering mengalami problem cinta dengan pasangan hidupnya dari merasa tidak dicintai lagi, sudah hambar atau merasa sudah memberikan segalanya namun tidak ada timbal balik cinta yang pantas dan sebagainya.John Gray, Ph.D dalam “Men, Women and Relationships” memberikan resep manjur agar pasangan merasa dicintai adalah dengan cara berfikir berlawanan pola dengan apa yang paling ia inginkan sendiri. Artinya harus berani mengenyampingkan perspektif dan keinginan serta ego diri sendiri namun sebaliknya mengedepankan apa yang dinginkan pasangan menurut perspektifnya yang tentunya dalam Islam tanpa melanggar kaedah syariat.Sementara menurut prinsip membangun rekening emosinya Stephen R. Covey dalam “The 7 Habits of Highly Effective Families” Cinta diibaratkan rekening bank emosi yang tentunya memerlukan saldo minimum agar tidak ditutup yang berarti permusuhan, perceraian, perpisahan dan perpecahan. Dengan demikian manajemen cinta dalam hal ini mengajarkan prinsip melakukan penyetoran lebih didahulukan daripada penarikan dan tidak peduli apapun situasinya, karena selalu ada hal-hal yang dapat kita lakukan yang akan membuat hubungan cinta menjadi lebih baik. Bukankah Nabi saw juga berpesan: “Janganlah engkau remehkan suatu kebaikanpun meskipun hanya memberikan senyuman kepada saudaramu.” Sikap mengesalkan dan menyebalkan bagi orang-orang sekeliling kita janganlah dipelihara dan dibiasakan sebab itu berarti penarikan beruntun rekening emosi yang dengan semakin menipisnya emosi simpati sebagai salah satu modal saling mencintai akan berakibat fatal. Namun sayang hal ini justru sering diremehkanSebaliknya kita perlu banyak dan sesering mungkin menaburkan rabuk tanaman cinta dan mengisi bank emosi cinta diantaranya dengan beberapa hal-hal postif berikut sebagaimana dikemukakan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauzziyah dalam “Raudhah Al-Muhibbin” sebagai bukti cinta kepada siapapun yang kita cintai: 1. Sesering mungkin kontak mata yang penuh keteduhan dan kedamaiaan sebagai magnet cinta antar orang-orang yang kita kasihi. 2. Melakukan seni mengingat kekasih, menghargai dan menyebutnya sesuai kesukaannya secara baik. 3. Mengikuti keinginan orang yang kita kasihi tanpa melangar kaedah syariat 4. Bersabar menghadapi sikap dan perlakuan orang yang dicintai. 5. Menunjukkan perhatian dan bersedia menyimak curahan hati kekasih. 6. Berusaha mencintai dan menyenangi apapun yang dicintai dan disenangi kekasih 7. Merasakan ringan resiko perjalanan menuju dan bersama kekasih tanpa keluh kesah 8. memberikan kepedulian dan kecemburuan yang wajar dan proporssional kepada kekasih 9. Rela berkorban demi kekasih dan menjadikan pengorbanannya sebaaagai pemikat hati 10. Membenci dan memusuhi apa yang tidak disukai kekasih sebagai bentuk konsekuensi wala’ dan bara’ dalam cinta.Skala prioritas cinta adalah hal yang niscaya dan semestinya diimplementasikan dalam manajemen cinta agar tidak bertabrakan dan memberantakkan hubungan, karena dalam hidup banyak hal yang harus dan secara fitrah kita cintai (QS.Ali Imran:14). Hal itu tentunya akan berjalan baik dengan saling memberikan pengertian secara bersama dan arif bijaksana sehingga tidak terjadi salah paham dan kecemburuan yang tidak pada tempatnya. Sebagai ilustrasi aada baiknya kita sebutkan model prioritas cinta yang pertama aadalah cinta Allah dan Rasul-Nya yang berarti cinta Islam, akidah, syariat dan jihad fi sabilillah di atas segala-galanya. Kemudian cinta kepada orang tua bagi anak lelaki dan bagi wanita yang belum menikah adapun wanita yang sudah menikah kepada suami baru kepada orang tua. Lalu keepada istri dan anak bagi lelaki dan seterusnya yang lebih bersifat materi, fasilitas fisik dan civil efek serta pengakuan ataupuan aktualisasi diri dalam konteks hubungan sosial. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Allah memberikan rahmat dengan membukakan pintu goa yang tertutup bagi seorang suami yang biasa menyimpan susu untuk diminumkan kepada orang tuanya sebelum anak dan istrinya dan rela menahan diri dan keluarganya untuk memeinumnya sebelum orang tuanya. Sebaliknya Allah mengampuni dosa orang tua yang meninggal dunia karena ketaaanatan istri kepada suani untuk tidak keluar rumah selama kepergiaannya tanpa seizinnya sampai akhirnya orang tuanya meninggal dunia dan ia tidak sempat menjenguk. Dengan keikhlasan masing-masing pihak untuk menerima jatah cinta dan kasih sayang untuknya sebagaimana mestinya yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan akan membawa keberkaaatan cinta itu sendiri.Hal lain yang tidak boleh dilupakan dalam manajemen cinta yang terkait dengan skala prioritas perhatian adalah situasi, kondisi dan peran yang diamanatkan Allah dalam hidupnya dapat menjadi pertimbangan sendiri. Sebagai contoh seseorang yang seharusnya pergi berjihad namun memiliki orang tua yang tidak ada yang merwatanya kecuali dirinya atau seorang ibu yang harus merawat anaknya dan tidak ada orang lain yang mengantikannya maka Rasulullah saw justru mewajibkan padanya untuk merawat keluarganya dan melarangnya untuk ikut berjihad. Namun sebaliknya jika potensi dan perannya dibutuhkan dalam dakwah dan jihad sementara ada elemen pendukung lain yang menggantikan peran cintanya untuk selain jihad dan ia enggan memberikan bukti cintanya kepada Allah dan rasulnya serta jihad di jalan-Nya maka Allah mengancamnya dengan kemeurkaan-Nya. (QS.At-Taubah:9) Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah
al-Faqir Ilallah Al-Ustadz SBU

Comments :

0 komentar to “MANAJEMEN CINTA”

Post a Comment

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE