Monday, March 30, 2009

Hukum Tradisi April Mop, Kebohongan Publik dan Dusta yang Dibolehkan


Dusta atau bohong pada prinsipnya dipandang Islam sebagai perilaku yang buruk dan hina yang dapat menjauhkan iman serta mengundang lahirnya kepribadian munafik. Islam mengharamkan dusta secara umum dan menganggapnya sebagai dosa besar dan perangai kekafiran atau kemunafikan. Firman-Nya: “Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta.” (QS. An-Nahl (16):105)
Sabda Nabi saw: “Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara; apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji mengingkari dan apabila diberi amanat ia berkhianat.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dalam riwayat Muslim ditambahkan: “meskipun ia melakukan shalat, berpuasa dan mengaku dirinya muslim.” Diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq secara marfu’ dan mauquf: “Berdusta itu menjauhkan seseorang dari keimanan” (HR. Al-Baihaqi). Juga dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra. Bahwa Nabi saw bersabda: “Orang mukmin itu mempunyai berbagai karakter selain khianat dan dusta.” (HR. al-Bazzar dan Abu Ya’la)
Rasulullah saw juga bersabda: “Ada empat perkara yang apabila terdapat pada diri seseorang keempatnya sekaligus maka ia adalah seorang munafik tulen, dan apabila terdapat salah satau darinya maka pada dirinya terdapat perangai kemunafikan sampai ia meninggalkannya, yaitu apabila berkata ia berdusta, jika diberi amanat ia berkhianat, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila berselisih ia berbuat onar.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i) Bahkan, Rasulullah saw menilai kepribadian mukmin tidak pantas dan tidak mungkin melakukan suatu kebohongan. Dalam hadits mursal riwayat Shafqan bin Salim bahwa Rasulullah saw pernah ditanya, ‘wahai rasulullah, mungkinkah orang mukmin itu penakut?’ beliau menjawab, ‘ya’. Beliau ditanya lagi, ‘mungkinkah orang mukmin itu bakhil?’ beliau menjawab, ‘ya’. Kemudian beliau ditanya, ‘mungkinkah orang mukmin itu pendusta?’, beliau menjawab, ‘tidak’. (HR. Malik)
Menghindari kebongan dan berperilaku jujur sangat diperhatikan dalam ajaran Islam karena implikasi dusta atau bohong sangat fatal yang membawa petaka dan mendorong kejahatan sebaliknya kejujuran akan membawa kebaikan. Nabi bersabda: “Hendaklah kamu berlaku jujur, karena kejujuraan akan membimbing kepada kebaikan dan kebaikan itu akan membimbing kepada surga. Dan tidak henti-hentinya seseorang berlaku jujur dan memilih kejujuran sehingga dia dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan jauhkanlah dirimu dari dusta, karena dusta itu akan membimbing kepada kejahatan dan kejahatan itu akan membimbing kepada neraka. Dan seseorang tidak henti-hentinya berbuat dusta dan memilih dusta hingga dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena kejinya kebohongan tersebut sehingga rasulullah saw begitu membencinya sebagaimana diriwayatkan Aisyah r.a: “Tidak ada perangai yang lebih dibenci Rasulullah saw daripada dusta.” (HR.Ahmad, al Bazzar, Ibnu Hibban dan Hakim.)
Semua ini menunjukkan kepada kita betapa Islam menjauhi perangai dusta dan mendidik umatnya agar terbiasa dengan kejujuran dan menjauhi kepribadian rendah yang suka bohong yang akan membawa kepada kemudharatan, baik timbul jelas secara langsung maupun tidak. Dusta yang berarti memberitahukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, dan ini menyerupai orang munafik. Jika seseorang tidak suka dibohongi, seharusnya ia pun tidak membohongi orang lain, berdasarkan kaidah pergaulan: “Bergaullah dengan manusia dengan cara yang kamu sendiri menyukainya jika mereka bergaul denganmu dengan cara itu.” Diantara bahaya terbesar dari kebohongan ialah, jika hal itu dibiasakan, sehingga yang melakukannya tidak lagi dapat melepaskan diri dari padanya.
Salah satu karakteristik ajaran Islam ialah mengkombinasikan secara integral dan harmonis antara idealisme dan realitas. Tidak cukup bagi kita bertahta dalam menara gading idealisme tanpa turun ke kehidupan nyata yang realistis, seperti halnya kehidupan sebagian filsuf pendukung madzhab filsafat ‘idelisme’ yang dipelopori oleh filosof besar Jerman, Immanuel Kant, yang sama sekali tidak memberi toleransi terhadap dusta. Islam merupakan ajaran hidup yang bersumber dari Allah yang secara sempurna mengetahui tabiat kehidupan dan kebutuhan umat manusia. Islam adakalanya memberikan rukhshah (keringanan dan pengecualian hukum) terhadap seseorang yang berdusta pada kondisi tertentu, demi menimbang situasi alamiah manusia dan memecahkan keadaan darurat yang menyulitkan mereka, atau karena kebutuhan yang sangat mendesak.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Abu Hamid al-Ghazali membahas masalah ini dengan sangat bijak. Dusta menurut al-Ghozali sebenarnya diharamkan Islam bukan karena dzatnya, tetapi karena mudharat yang ditimbulkannya, baik terhadap orang yang diajak bicara maupun terhadap orang lain. Karena paling tidak, orang yang diberitahu akan mempercayai sesuatu padahal kenyataannya tidak demikian, sehingga orang tersebut tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Bahkan kadang implikasi mudharatnya dapat mengena orang lain. Meski begitu, kadang ketidaktahuan karena bukan kesengajaan ada manfaat dan maslahatnya. Kebohongan yang dapat menjaga sesuatu yang memang seharusnya dirahasiakan ini diperbolehkan, bahkan kadang hukumnya wajib.
Menurut Maimun bin Mahran yang dinukil dalam kitab tersebut bahwa dusta dalam keadaan tertentu ada kalanya lebih baik daripada berkata jujur. Misalnya anda melihat seseorang yang mencari orang lain dengan membawa pedang untuk membunuhnya. Orang yang dicari itu masuk masuk ke sebuah rumah. Anda melihatnya. Lalu orang yang mencarinya menanyakan pada anda di mana orang itu. Apa yang akan anda katakan? Tentu saja anda akan mengatakan bahwa anda tidak tahu. Dalam hal ini, anda berbohong. Tetapi bohong seperti itu wajib hukumnya.
Perkataan merupakan wasilah, sarana untuk mencapai suatu tujuan. Bila tujuan dan niat tersebut terpuji serta dapat dicapai dengan berkata jujur maupun dengan dusta, maka dalam kondisi demikian dusta diharamkan kaarena niat baik tidak dapat menghalalkan cara yang haram selama aada cara yang halal. Tapi bila tujuan tersebut hanya dapat dicapai dengan dusta karena darurat, maka dusta dalam hal ini menjadi mubah jika tujuannya mubah dan menjadi wajib jika tujuan yang hendak dicapai itu juga wajib.
Jika tujuan peperangan, usaha mendamaikan orang yang berselisih atau mengambil hati terdakwa sulit dicapai kecuali hanya dengan berdusta, maka dalam hal ini dusta menjadi mubah. Namun demikian, sedapat mungkin harus dijaga jangan sampai melampaui batasan darurat. Sebab jika telah membuka pintu dusta dalam dirinya, dikhawatirkan seseorang akan terus-menerus dan terbiasa berdusta. Karena itu, pada dasarnya berdusta itu haram, kecuali kalau kondisi darurat menuntunya.
Dalil yang menunjukkan adanya pengecualian ini diriwayatkan dari Ummu Kultsum, ia berkata: “saya tidak pernah mendengar rasulullah memberi kemurahan untuk berdusta kecuali dalam tiga perkara: orang yang berkata untuk mendamaikan pertengkaran, orang yang berkata dalam peperangan (sebagai siasat perang) dan laki-laki yang berkata kepada istrinya, atau sebaliknya, (dalam rangka menjaga keutuhan rumah tangga). (HR. Muslim). Menurut sebuah riwayat bahwa praktik kebohongan yang terpaksa dilakukan dalam konteks perang atau perjuangan jihad dan dakwah Nabi menamainya sebagai khud’ah atau siasat. Ummu Kaltsum beriwayatkan lagi sabda Nabi saw.: “tidak dianggap sebagai pendusta orang yang mendamaikan antara dua orang yang berselisih, lalu ia berkata yang baik atau menumbuhkan kebaikan (dengan berbohong).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari Asma’ binti Yazid bahwa Rasulullah saw berkata: “setiap kebohongan itu ditulis dosanya atas anak Adam (yang melakukannya) kecuali orang yang berbohong terhadap dua orang muslim untuk mendamaikan keduanya.” (HR. Ahmad).
Imam Al-Ghozali mengatakan bahwa tiga perkara inilah yang disebutkan secara eksplisit termasuk dalam pengecualian dan keringanan (rukhsah) untuk berdusta, dan esensinya dapat dikembangkan pada kasus lain jika berkaitan dengan tujuan yang benar karena kebutuhan atau kondisi darurat.
Demikian pula bila berhubungan dengan usaha mempertahankan harta milik, misalnya ada orang yang zalim yang hendak mengambil harta kita. Dalam hal ini kita boleh berdusta. Demikian pula bila mengenai kehormatan dan harga diri orang lain, misalnya kita ditanya tentang rahasia dan aib saudara kita yang bukan dalam konteks penegakan hokum yang masuk dalam wilayah publik dan hak Allah atas kebenaran hukum.
Namun begitu, semua itu boleh dilakukan hanya dalam batas-batas tertentu dan perlu diingat bahwa pada prinsipnya dusta itu dilarang. Jika seseorang berbuat jujur dalam beberapa hal, tetapi kejujurannya itu dapat menimbulkan sesuatu yang terlarang pula, maka hendaklah ia membandingkan antara keduanya dan menimbangnya secara adil dan cermat. Jika seecara syar’i dinilai akibat kejujurannya itu akan lebih besar resiko dan mudharatanya daripada berdusta, maka berdusta dalam hal ini diperbolehkan, tetapi jika maksud yang dicapai itu lebih ringan dari pada dusta, maka ia harus berkata jujur. Bila diragukan mana yang lebih berat, lebih utama berbuat jujur, karena dusta hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak. Jika kebutuhan yang dimaksud masih disangsikan adanya, maka kembali kepada hukum asal aatau hokum prinsip dusta yaitu haram dan hendaklah ia kembali pada hukum asal ini.
Mengingat betapa rumitnya mengetahui tingkat-tingkat tujuan strata mashlahat, maka sedapat mungkin hendaklah kita memelihara diri dari sikap dusta. Kalaupun dusta itu dibutuhkan, lebih baik kita mewujudkan tujuan-tujuan itu tanpa harus berdusta terutama dalam pencitraan diri dan dakwah yang baik. Apalagi jika berhubungan dengan orang lain, bukankah kita tidak boleh mengambil hak orang lain dan menimpakan mudharat padanya? Sebagian besar manusia berbuat dusta hanya demi kepentingan pribadi dan kelompoknya, untuk menambah kekayaan, menaikkan pangkat, mempertahankan jabatan seperti berbagai kasus aaneka ragam gate-gate (skandal) yang begitu marak ditanah air ini yang tak kunjung tuntas karena dipenuhi kebohongan publik meskipun dihadapan hukum. Hal-hal seperti ini jelas haram hukumnya.
Bahkan kebohongan dalam hal-hal yang seepeele yang seharusnay tida perlu dusta untuk menyakiti orang lain seperti dalam pergaulan rumah tangga, bertetangga dan berkawan. Asma’ ra. berkata bahwa ia pernah mendengar seorang wanita bertanya kepada Rasulullah saw, katanya, “Saya mempunyai seorang madu dan saya berlagak seolah-olah saya mendapatkan lebih banyak dari suami saya, padahal tidak, ini saya lakukan untuk menyakiti hati madu saya. Apakah dalam hal ini saya berdosa?” Rasulullah saw menjawab, “Orang yang berlagak puas dengan apa yang tidak diberikan suaminya, bagaikan orang yang memakai pakaian palsu atau tipuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Begitu juga terhadap anak-anak. Bila mereka tidak mau sekolah atau malas mengerjakan shalat, maka kita boleh menjanjikan sesuatu atau menakut-nakutinya meskipun dusta, bila cara lain sudah tidak dapat digunakan. Beberapa riwayat hadits menyebutkan bahwa perbuatan seperti itu adalah dusta dan akan tetap dihisab. Namun, dalam hal ini kita dituntut untuk membetulkan tujuan dan Insya Allah dimaafkan. Dusta yang diperbolehkan hanyalah untuk tujuan ishlah (perbaikan, perdamaian, rekonsiliasi) yang bila dibiarkan berlarut akan menimbulkan bahaya. Pada umumnya orang yang mengusahakan perdamaian tidak memiliki kepentingan dan keuntungan pribadi, dusta yang ia lakukan semata-mata untuk perdamaian maka hal itu dinilai sesuai dengan tujuan dan keadaannya. Seseorang yang terpaksa melakukan dusta, sebenarnya dihadapkan pada masalah ijtihad untuk mengetahui sampai sejauh mana tujuan perbuatannya itu; apakah menurut pandangan syara’ dusta itu lebih penting daripada jujur atau justru sebaliknya? Persoalan ini ternyata sangat rumit, sebab yang haram harus tetap ditinggalkan. Hal ini dapat menjadi wajib duusta jika memang tidak bisa ditinggalkan, misalnya jika bila berkata jujur akan menimbulkan pertumpahan darah atau kemaksiatan dalam bentuk lain.
Alasan untuk menghidupkan atau menambah keakaraban atau sekedar mengikuti budaya asing dengan dusta gurau pada awal bulan April sama sekali tidak termasuk dalam tiga perkara yang dikecualikan hadits tadi.
Jadi, tradisi ‘April Mop’ hukumnya justru jelas haram dengan beberapa alasan yaitu: Pertama: Hal itu menjurus kepada perbuatan yang dikecaam Nabi sebagai Tasyabbuh bil Kuffar (meniru kaum kafir) dalam hal yang bertentangan dengan kaedah syariat Islam yang menurut beliau bahwa siapa yang meniru-niru suatu kaum maka digolongkan pada golongan mereka. Kedua: bertentangan dengan sabda Nabi saw.: “Celaka bagi orang yang mengucapkan perkataan untuk membuat orang lain tertaawa dengan berkata dusta, maka celakalah dia, celakaalah dia.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i) “Tidaklah seseorang beriman dengan sempurna sehingga ia meninggalkan berdusta dalam bergurau maupun berpolemik meskipun ia benar.” (HR. Ahmad dan Thabrani) Ketiga: merupakan pengkhianatan kepada orang lain yang telah mempercayai omongan kita. Sabda Nabi saw.: “Cukup besar pengkhianatan yang kamu lakukan dalam hal kamu mengatakan kepada saudaramu suatu ucapan yang ia mempercayainya sementara kamu berdusta. Keempat: Bila dalam dusta April Mop tersebut sempat membuat orang lain takut, cemas dan kaget maka hal ini menambah kesalahan. Sabda Nabi saw.: “Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti muslim lainnya.” (HR.Thabrani) dan sabdanya: “Jangan sekali-kali seseorang diantara kalian mengambil (menyembunyikan) barang milik saudaranya, baik dengan maksud bergurau maupun bersungguh-sungguh.” (HR.Tirmidzi)
Dalam hal terpaksa berdusta dalam kondisi tertentu sekalipun, Rasululah saw. tetap menganjurkan sebaiknya memakai penghalusan kata (euphemisme) atau tauriyah (kata bermakna ganda atau multi makna) yang atau menggunakan kata sindirin (ma’aridh), bukan dengan berdusta secara terang-terangan sedapat mungkin itu dilakukan. Diriwayatkan dari para salaf bahwa dengan sindiran seseorang dapat keluar dari perbuatan dusta. Umar ra pernah berkata:“ketahuilah bahwa dengan mengatakan sindiran itu seseorang dapat melepaskan diri dari berdusta.”(HR Ibnu ‘Adi dan Baihaqi) Hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan lainnya, dan yang mereka maksudkan ialah apabila seseorang terpaksa berbuat dusta. Adapun jika tidak diperlukan atau tidak darurat, maka tidak boleh ta’ridh (sindiran) dan tidak boleh berdusta secara terang-terangan. Meski demikian, menggunakan ta’ridh lebih ringan risikonya daripada berdusta secaara terang-terangan.
Sebagai contoh ta’ridh diriwayatkan bahwa Mutharrif bin Abdullah, salah seorang ulama tabi’in yang besar, pernah menghadap Ziyad bin Abihi, seorang gubernur Bani Umayah yang terkenal. Sang Gubernur bertanya kepada beliau tentang keterlambatan beliau mengunjunginya, kemudian beliau menjawab, “saya tidak pernah mengangkat lambung saya semenjak saya berpisah dengan gubernur kecuali setelah Allah mengangkatku.” Maka gubernur itu memahami bahwa beliau mengemukakan alasan karena sakit, padahal sebenarnya beliau sehat, hanya saja beliau tidak mungkin dapat mengangkat lambung kecuali jika Allah yang mengangkatnya.
Perlu diperhatikan disini bahwa larangan keras terhadap dusta di sini tidak peringkatnya. Seperti keharaman dusta yang dilakukan dalam jual beli dan muamalah dan berdusta dalam kesaksian dan sebagainya, karena dusta yang diharamkan itu bertingkat-tingkat dengan perbedaan yang sangat besar. Di antara dusta ada yang tingkat keharamnya kecil dan ada pula tingkat keharamannya besar, seperti berdusta dalam kesaksian hukum yang oleh Nabi saw dikategorikan ke dalam dosa besar. Dusta seperti ini oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dirangkaikan dengan dosa menyukutukan Allah swt. Termasuk kebohongan publik dalam kesaksian berbagai skandal adalah termasuk dosa besar bila memang benar-benar berdusta untuk menutupi kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan.
Termasuk dosa besar adalah berdusta dalam bersumpah, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak pedagang untuk memperlaris dagangannya, Rasulullah saw bersabda: “Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan tidak akan dilihat (diperhatikan) oleh-Nya, yaitu orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, orang yang suka memperlaris dagangannya dengan bersumpah palsu, dan orang yang memanjangkan pakaiannya karena sombong dan congkak.” (HR Muslim) Termasuk pula dalam kategori pendusta ialah orang yang berdusta lantas kebohongannya menyebar ke tempat yang luas, seperti gosip murahan dan kebohongan wartawan ataupun tulisan yang diangkat melalui media massa dan kantor-kantor berita dewasa ini. Dan yang lebih buruk dari semua itu adalah berdusta atas nama Allah dan Rasul-Nya, seperti disebutkan dalam hadits mutawatir: “Barangsiapa berdusta atas nama saya dengan sengaja maka hendaklah dia bersiap-siap menempati tempat duduknya di neraka.” Semoga kita dihindarkan dari segala macam dosa dan kemudharatan dusta.
Terkait dengan tradisi April Mop yang biasanya di dunia Barat setiap tanggal 1 April, terdapat fenomena orang-orang terutama anak-anak muda yang merayakan hari tersebut dengan membuat aneka kejutan atau sesuatu keisengan. April Fools Day, demikian orang Barat menyebut hari tanggal 1 April atau lebih popular disebut sebagai ‘April Mop’. Namun tragisnya, perayaan tersebut sesungguhnya berasal dari sejarah pembantaian tentara Salib terhadap Muslim Spanyol yang memang didahului dengan upaya penipuan atau tipu daya. Ada baiknya sebagai catatan akhir ulasan fikih kontemporer ini, menyimak sekasama sejarah tradisi April Mop yang diadaptasi dari buku “Valentine Day, Natal, Happy New Year, April Mop, Halloween: So What?”
Perayaan April Mop yang selalu diakhiri dengan kegembiraan dan kepuasan itu sesungguhnya berawal dari satu tragedi besar yang sangat menyedihkan dan memilukan. April Mop atau The April’s Fool Day berawal dari satu episode sejarah Muslim Spanyol di tahun 1487 atau bertepatan dengan 892 H. Sebelum sampai pada tragedi tersebut, ada baiknya menengok sejarah Spanyol dahulu ketika masih di bawah kekuasaan Islam.
Sejak dibebaskan Islam pada abad ke-8 M oleh Panglima Thariq bin Ziyad, Spanyol berangsur-angsur tumbuh menjadi satu negeri yang makmur. Pasukan Islam tidak saja berhenti di Spanyol, namun terus melakukan pembebasan di negeri-negeri sekitar menuju Perancis. Perancis Selatan dengan mudah bisa dibebaskan. Kota Carcassone, Nimes, Bordeaux, Lyon, Poitou, Tours, dan sebagainya jatuh. Walau sangat kuat, pasukan Islam masih memberikan toleransi kepada suku Goth dan Navaro di daerah sebelah Barat yang berupa pegunungan.
Islam telah menerangi Spanyol. Karena sikap para penguasa Islam begitu baik dan rendah hati, maka banyak orang-orang Spanyol yang kemudian dengan tulus dan ikhlas memeluk Islam. Muslim Spanyol bukan hanya beragama Islam, namun mereka sungguh-sungguh mempraktekkan kehidupan secara Islami. Mereka tidak hanya membaca Al-Qur'an tapi juga bertingkah laku berdasarkan Al-Qur'an. Mereka selalu berkata tidak untuk musik, bir, pergaulan bebas, dan segala hal yang dilarang Islam. Keadaan tenteram seperti itu berlangsung hampir enam abad lamanya.
Selama itu pula kaum kafir yang masih ada di sekeliling Spanyol tanpa kenal lelah terus berupaya membersihkan Islam dari Spanyol, namun mereka selalu gagal. Telah beberapa kali dicoba tapi selalu tidak berhasil. Dikirimlah sejumlah mata-mata untuk mempelajari kelemahan umat Islam di Spanyol. Akhirnya mata-mata itu menemukan cara untuk menaklukkan Islam di Spanyol, yakni pertama-tama harus melemahkan iman mereka dulu dengan jalan serangan pemikiran dan budaya.
Maka mulailah secara diam-diam mereka mengirim alkohol dan rokok secara gratis ke dalam wilayah Spanyol. Musik diperdengarkan untuk membujuk kaum mudanya agar lebih suka bernyanyi dan menari ketimbang baca Qur’an. Mereka juga mengirim sejumlah ulama palsu yang kerjanya meniup-niupkan perpecahan di dalam tubuh umat Islam Spanyol. Lama-kelamaan upaya ini membuahkan hasil.
Akhirnya Spanyol jatuh dan bisa dikuasai pasukan Salib. Penyerangan oleh pasukan Salib benar-benar dilakukan dengan kejam tanpa mengenal peri kemanusiaan. Tidak hanya pasukan Islam yang idbantai, juga penduduk sipil, wanita, anak-anak kecil, orang-orang tua, semuanya dihabisi dengan sadis.
Satu persatu daerah di Spanyol jatuh, Granada adalah daerah terakhir yang ditaklukkan. Penduduk-penduduk Islam di Spanyol (juga disebut orang Moor) terpaksa berlindung di dalam rumah untuk menyelamatkan diri. Tentara-tentara Kristen terus mengejar mereka.
Ketika jalan-jalan sudah sepi, tinggal menyisakan ribuan mayat yang bergelimpangan bermandikan genangan darah, tentara Salib mengetahui bahwa banyak Muslim Granada yang masih bersembunyi di rumah-rumah. Dengan lantang tentara Salib itu meneriakkan pengumuman, bahwa para Muslim Granada bisa keluar dari rumah dengan aman dan diperbolehkan berlayar keluar dari Spanyol dengan membawa barang-barang keperluan mereka. “Kapal-kapal yang akan membawa kalian keluar dari Spanyol sudah kami persiapkan di pelabuhan. Kami menjamin keselamatan kalian jika ingin keluar dari Spanyol, setelah ini maka kami tidak lagi memberikan jaminan!” demikian bujuk tentara Salib.
Orang-orang Islam masih curiga dengan tawaran ini. Beberapa dari orang Islam diperbolehkan melihat sendiri kapal-kapal penumpang yang sudah dipersiapkan di pelabuhan. Setelah benar-benar melihat ada kapal yang sudah dipersiapkan, maka mereka segera bersiap untuk meninggalkan Granada bersama-sama menuju ke kapal-kapal tersebut. Mereka pun bersiap untuk berlayar.
Keesokan harinya, ribuan penduduk Muslim Granada yang keluar dari rumah-rumahnya dengan membawa seluruh barang-barang keperluannya beriringan jalan menuju pelabuhan. Beberapa orang Islam yang tidak mempercayai tentara Salib bertahan dan terus bersembunyi di rumah-rumahnya. Setelah ribuan umat Islam Spanyol berkumpul di pelabuhan, dengan cepat tentara Salib menggeledah rumah-rumah yang telah itinggalkan penghuninya. Lidah api terlihat menjilat-jilat angkasa ketika para tentara Salib itu membakari rumah-rumah tersebut bersama orang-orang Islam yang masih bertahan di dalamnya.
Sedang ribuan umat Islam yang tertahan di pelabuhan hanya bisa terpana ketika tentara Salib juga membakari kapal-kapal yang dikatakan akan mengangkut mereka keluar dari Spanyol. Kapal-kapal itu dengan cepat tenggelam. Ribuan umat Islam tidak bisa berbuat apa-apa karena sama sekali tidak bersenjata. Mereka juga kebanyakan terdiri dari para perempuan dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Sedang tentara Salib itu telah mengepung mereka dengan pedang terhunus.
Dengan satu teriakan dari pemimpinnya, ribuan tentara Salib itu segera membantai dan menghabisi umat Islam Spanyol tanpa perasaan belas kasihan. Jerit tangis dan takbir membahana. Dengan buas tentara Salib terus membunuhi warga sipil yang sama sekali tidak berdaya.
Seluruh Muslim Spanyol di pelabuhan itu habis dibunuh dengan kejam. Darah menggenang di mana-mana. Laut yang biru telah berubah menjadi merah kehitam-hitaman. Tragedi ini bertepatan dengan tanggal 1 April. Inilah yang kemudian diperingati oleh dunia Kristen setiap tanggal 1 April sebagai April Mop (The Aprils Fool Day).
Bagi umat Islam April Mop tentu merupakan tragedi yang sangat menyedihkan. Hari di mana ribuan saudara-saudaranya seiman disembelih dan dibantai oleh tentara Salib di Granada, Spanyol. Sebab itu, adalah sangat tidak pantas jika ada orang Islam yang ikut-ikutan merayakan tradisi ini. Sebab dengan ikut merayakan April Mop, sesungguhnya orang-orang Islam itu ikut bergembira dan tertawa atas tragedi tersebut. Siapa pun orang Islam yang turut merayakan April Mop, maka ia sesungguhnya tengah merayakan ulang tahun pembunuhan massal ribuan saudara-saudaranya di Granada, Spanyol, beberapa abad silam. Subahannalh Astaghfirullah. Wallahu A’lam Wa Bilahit taufiq wal Hidayah. Al-Ustadz SBU

Comments :

0 komentar to “Hukum Tradisi April Mop, Kebohongan Publik dan Dusta yang Dibolehkan”

Post a Comment

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE