Monday, March 30, 2009

HUKUM PARTISIPASI POLITIK DAN GOLPUT PEMILU (BAG. I)


Fenomena kecenderungan sebagian masyarakat muslim untuk mengambil pilihan golongan putih (golput) atau abstain yang menuai kontra berupa himbauan untuk tidak golput bahkan permintaan fatwa haram golput selalu memicu polemik setiap menjelang pemilihan umum (pemilu) untuk pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres) begitu pula dengan pemilihan kepada daerah (pilkada) di beberapa wilayah. Hal itu menjadi kontroversial karena di satu sisi, ada sebagian politisi muslim menganjurkan untuk melakukan golput dengan motivasi tertentu dan disinyalir adanya pola sistemis penyiaan suara umat Islam serta depolitisasi masyarakat mengundang beragam rekasi diantaranya ada yang menyatakan bahwa golput adalah haram mutlak dan mendorong MUI serta lembaga fatwa ormas Islam untuk memfatwakan hukum haram golput. Namun reaksi itupun mengundang penolakan fatwa tentang golput, mengingat masalah golput merupakan domain politik dan bukan wilayah agama.

Sejarah penyelenggaraan pemilu di Indonesia dari waktu kewaktu memperlihatkan jumlah golput yang semakin terus meningkat. Jika pada Pemilu 1955, yang dikenal paling luber dan paling demokratis, tingkat golput mencapai 12,33% persen. Sementara pemilu-pemilu di era Orde Baru, di mana rakyat dimobilisasi dalam pemilu, fenomena golput masih juga cukup tinggi. Dalam Pemilu 1971 golput mencapai 6,67 persen, kemudian meningkat menjadi 8,40 persen dalam Pemilu 1977 dan meningkat lagi dalam Pemilu 1982 menjadi 9,61 persen. Dalam Pemilu 1987 turun menjadi 8,39 persen dan meningkat lagi dalam Pemilu 1992 menjadi 9,05 persen, dan 9,05 persen dalam Pemilu 1997.

Suara golput di Era Reformasi yang dicapai pada Pemilu 1999, pasca jatuhnya rezim otoriter, angka golput juga masih meningkat, yakni mencapai 10,40% persen. Itu kalau kita memasukkan jumlah suara yang tidak sah karena berbagai alasan sebagai suara golput. Sementara itu, dalam pemilu legislatif 5 April 2004, angka golput menunjukkan peningkatan yang signifikan, yakni mencapai 23,34 persen atau 34,5 juta rakyat. Dari 34,5 juta orang yang golput, 23,5 juta orang di antaranya tidak datang ke tempat pemungutan suara.[i]

Dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), rata-rata jumlah golput di berbagai provinsi mencapai 38-40 persen. Sejumlah Pilkada pada tahun 2008 bahkan "dimenangi" oleh golput. Golput di Pilkada Jawa Barat, misalnya, mencapai 33%; Jawa Tengah 44%; Sumatera Utara 43%; Jatim (putaran I) 39,2% dan (putaran II) 46%. Angka Golput pada sejumlah Pilkada kabupaten/kota pun banyak yang mencapai 30%-40%, bahkan lebih. Gejala ini diperkirakan terus berlangsung hingga Pemilu 2009 nanti. Bahkan dalam Pilpres 2009, golput diperkirakan meningkat menjadi sekitar 40 persen, lebih tinggi daripada saat Pilpres 2004 yang 'hanya' mencapai 20 persen.

Data di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa perubahan sistem politik yang otoriter (zaman orde baru) kepada sistem politik yang dimokratis tidak berbanding lurus dengan meningkatnya partisipasi politik warga negara. Kalau pada zaman orde baru, fenomena golput dapat dimaknai sebagai protes atas sistem dan tata pemerintahan yang otoriter dan despotik, maka bagaimana memaknai fenomena golput di dalam tatanan masyarakat yang seperti ini.

Melihat realitas fenomena golput sebagaimana tergambar di atas, muncul wacana publik mengenai hukum golput dalam pemilu, baik dilihat dari aspek konstitusi maupun hukum keagamaan. Dalam konteks hukum Islam, beberapa lembaga keagamaan Islam didorong untuk memberikan pendapat hukum mengenai tindakan golput.

Dalam rangka memberikan kontribusi politik guna mewujudkan masyarakat yang demokratis dan berkeadaban, perlu ada sumbangan agama dalam mendorong peningkatan kesadaran publik dalam partisipasi politik, yang dengannya fenomena golput akan dapat diminimalisir. Sebagai bentuk tanggung jawab keumatan dan kebangsaan, makalah ini hendak menjawab pokok masalah tentang perspektif hukum Islam terhadap golput dalam pemilu. Untuk menjawab pokok masalah tersebut, perlu juga diuraikan beberapa masalah turunannya, yakni; (1) apa tujuan pemilu dan hukum berpartisipasi dalam pemilu; (2) apa definisi golput dan motivasi melakukan golput; (3) apa saja jenis-jenis golput terkait dengan motivasinya; (4) bagaimana hukum golput pada setiap jenis tersebut.

Partisipasi Pemilu Antara Hak dan Kewajiban Warga Negara

Pemilu menurut UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Pasal 1 ayat (2) hingga ayat (4) terdiri dari Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dalam konsideran UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, point menimbang huruf b disebutkan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, tujuan utama penyelenggaraan pemilu adalah untuk menegakkan kemaslahatan, yang merupakan inti dari tujuan syari'ah (maqashid al-syari'ah).

Memang partisipasi politik setiap warga nnegara dipandang dari aspek individu untuk memberikan suara politik dalam pemilihan umum merupakan hak warga negara, yang dijamin oleh konstitusi; bukan suatu kewajiban. Pasal 28 D (3) UUD RI Tahun 1945 menyatakan bahwa ”setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”.

Hak politik yang berkaitan dengan hak memilih warga negara tertuang dalam UU No.10 Tahun 2008 Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin mempunyai hak memilih. Hal ini dikuatkan lagi dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum no 11 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyusunan Daftar Pemilih Bagi Pemilih Di Luar Negeri untuk Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Pasal 3 ayat (1).

Di beberapa negara demokrasi, fenomena kecenderungan golput karena apatis maupun ketidakpedulian politik mendoronng pengaturan tentang partisipasi dalam pemilu bukan sekedar sebagai sebuah hak, melainkan juga tanggung jawab bahkan kewajiban sekaligus. Di sejumlah negara, kewajiban ikut memilih dalam sebuah pemilu bahkan sudah diatur dalam konstitusi dan undang-undang pemilu mereka. Dan tak sedikit negara yang menerapkan sanksi hukum bagi warga negaranya yang tak ikut memilih, apapun alasannya. Kewajiban memilih yang di dunia dikenal dengan istilah compulsory voting sebetulnya bukan konsep baru. Belgia, salah satu negara yang mewajibkan rakyatnya ikut pemilu, bahkan sudah memasukkan kewajiban itu dalam UU mereka sejak tahun 1892. Kemudian Argentina memulainya di tahun 1914 dan Australia pada tahun 1924.

Istilah golput (golongan putih) muncul sebagai sebuah terminologi politik sejak zaman Orde Baru. Pada zaman Orde Baru, istilah golput digunakan untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang dengan kesadarannya tidak memberikan hak pilihnya sebagai protes terhadap rezim.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, golput merupakan akronim dari golongan putih. Golongan putih merupakan istilah politik yang berarti warga negara yang menolak memberikan suara dalam pemilihan umum sebagai tanda protes. [ii]

Menurut Makmur Hendrik, mantan Redaktur Senior Media Indonesia, golput yang muncul setelah tahun 90-an adalah orang yang dengan kesadaran politik tertentu memutuskan untuk tidak ikut memilih sebagai bentuk protes terhadap sistem dan atau rezim. Secara sederhana, golput adalah orang yang tidak memilih karena anti-sistem dan anti-rezim. [iii]

Namun, kini istilah golput dalam diskursus politik dewasa ini, --sebagaimana terlihat dalam media massa, mengalami perluasan makna, dengan pengertian bahwa golput adalah orang yang mempunyai hak pilih tetapi tidak menggunakan hak pilihnya.

Asumsi yang paling gampang, sebagaimana ditulis Kompas (3/8/2004) bahwa golongan putih atau golput diambil dari jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya plus pemilih yang suaranya tidak sah.[1] Dan agaknya, data persentase golput sebagaimana disebutkan di bagian sebelumnya juga merujuk pada pengertian ini.

Berdasarkan definisi golput yang terakhir, perilaku golput dapat diklasfikasi menjadi dua; yakni golput yang karena persoalan teknis, serta golput karena persoalan politis.

Golput jenis pertama, golput karena masalah teknis dapat terjadi karena beberapa faktor, di antaranya surat suara tidak sah; faktor cuaca, domisili, dan/atau pekerjaan yang menyebabkan dia tidak memilih; factor tidak tercatat dalam daftar pemilih, dan faktor kemalasan.

Sementara, golput karena masalah politis bisa terjadi sebagai bentuk protes atas tatanan politik yang tidak demokratis, kecewa atas seseorang atau kelompok, pemboikotan terhadap sistem, atau apatisme pribadi.

Sebagai mana diterangkan di atas, memilih dalam pemilu merupakan hak warga negara. Sebagai hak, maka hukum dasar penggunaannya adalah mubah. Hal ini sejalan dengan kaedah umum dalam fiqh mu'amalah: "Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya"

Hukum asal menggunakan hak pilih adalah mubah, dalam arti boleh digunakan dan boleh juga tidak digunakan. Dengan demikian, golput dalam pengertian tidak menggunakan hak memilih dalam pemilu hukum asalnya adalah boleh.

Sebagaimana halnya hukum asal makan adalah mubah, namun hukumnya dapat bergeser menjadi wajib, haram, sunnah, atau makruh tergantung konteks yang melingkupinya. Makan bisa menjadi wajib jika tanpa makan seseorang akan mengalami sakit, bahkan mengancam jiwanya. Makan diharamkan bagi seseorang yang berpuasa. Dalam hal ini, berlaku kaedah: "Penetapan hukum tergantung ada-tidaknya 'illat"

Seiring dengan definisi dan jenis serta motivasi tindakan golput, maka hukum golput bersifat situasional, sesuai dengan motivasi yang melatarbelakangi tindakan golput tersebut. Dalam kajian fiqh, sangat dimungkinkan berubahnya hukum sebagai akibat dari perubahan kondisi dan situasi. "Tidak diingkari adanya perubahan hukum sebab adanya perubahan waktu dan tempat"

Di tengah pemerintahan yang otoriter dan despotik, di mana pelaksanaan pemilu hanya bersifat artifisial serta simbolik semata, maka pelaksanaan golput sebagai protes dan pengingkaran atas perilaku penguasa yang despotik, bisa dihukumi sunnah dan dianjurkan. Hal ini jika upaya perbaikan sistem tidak dapat dilakukan kecuali dengan jalan golput. Bentuk pengingkaran terhadap kekuasaan yang korup melalui jalan golput adalah kategori minimal, sebagaimana sabda nabi saw Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih Muslim tentang pemberantasan kemungkartan.

Dengan demikian, jika dimungkinkan perubahan kekuasaan despotik melalui pemilu, maka partisipasi dalam pemilu sebagai ikhtiyar untuk taghyir al-munkar hukumnya wajib... bersambung ...

Comments :

0 komentar to “HUKUM PARTISIPASI POLITIK DAN GOLPUT PEMILU (BAG. I)”

Post a Comment

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE