Tuesday, March 31, 2009

HUKUM PARTISIPASI POLITIK DAN GOLPUT PEMILU (BAG.II)


Dalam perspektif fiqh siyasah, penegakan kepemimpinan (aqd al-imamah) hukumnya wajib berdasarkan konsensus. Hal ini mengingat imamah ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam menjaga urusan agama dan mengatur urusan dunia. Dengan demikian, dalam perspektif ini, maka partisipasi dalam kekuasaan politik adalah wajib untuk ketertiban dunia dan agama. Kewajiban menyelenggarakan pemerintahan (yang merupakan urusan dunisa) juga merupakan kewajiban agama. Selanjutnya, al-Mawardi menjelaskan ada tiga syarat yang harus dipenuhi bagi calon pemilih, yaitu, pertama; memiliki sifat adil (yang terkumpul dalm dirinya syarat-syarat keadilan), kedua, memiliki pengetahuan yang cukup mengenai calon pemimpin (atau wakil rakyat) yang akan dipilih bahwa dia memenuhi syarat-syarat kepemimpinan yang ditetapkan, dan ketiga memiliki pandangan dan kearifan (wisdom/hikmah) dalam menentukan pilihan calon pemimpin yang lebih mampu mewujudkan kemaslahatan.
Ketiga syarat bagi pemilih ini sangat relevan seiring dengan keputusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan model pemilihan wakil rakyat dengan sistem suara terbanyak, sehingga pemilih akan langsung menetapkan pilihan calon wakilnya secara langsung. Keputusan MK ini seharusnya juga dapat menjadi salah satu formula meminimalisir terjadinya golput mengingat kesempatan pemilihan wakil rakyat secara dafinitif sangat terbuka. Demikian juga dalam pemilihan DPD dan pemimpin pemerintahan, yang telah lebih dulu dilakukan secara langsung.
Menilik pada tujuan dilaksanakannya pemilu adalah untuk memilih pemimpin negara dan wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan masyarakat, maka pemilu menjadi hal yang urgen. Karena pelaksanaan pemilu terkait dengan sangkut paut penegakkan kekuasaan ('aqd al-imamah), maka hukumnya menjadi wajib. Tanpa melalui jalan pemilu, kekuasaan tidak bisa ditegakkan. Akhirnya negara tanpa kekuasaan (pemerintahan) akan menimbulkan anarkisme. Pemilu adalah suatu proses untuk menegakkan kekuasaan negara. Maka menjadi wajib hukumnya bagi warga negara untuk terlibat di dalamnya. Dengan demikian maka pemilu menjadi wajib karena ia menjadi sarana untuk menegakkan hal yang wajib, yakni pemilihan pemimpin. ”Apabila suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa adanya sesuatu yang lain, maka pelaksanaan sesuatu yang lain tersebut hukumnya juga wajib"
Dengan demikian, apabila penegakan kekuasaan tergantung dengan pelaksanaan pemilu maka partisipasi dalam pemilu hukumnya wajib. Secara mafhum mukhalafah, golput dalam pemilu dengan kesadaran untuk memboikot pemilihan pimpinan negara dalam rangka penegakan kekuasaan hukumnya haram.
Jika golput yang terjadi karena seseorang tidak memilih akibat tidak ada calon pemimpin atau wakil rakyat yang dianggap cocok, maka golput seperti ini tetap akan merugikan, dan dalam perspektif fiqh siyasah dianggap kurang tepat. Dengan memilih golput, akan hilang peluang untuk memberikan kontribusi memilih yang terbaik dari yang kurang baik, yang lebih mendekati apa yang kita idealkan. Dengan golput, bisa jadi, kita memberikan kontribusi untuk memenangkan calon yang sebenarnya kita tidak kehendaki sama sekali.
Dalam hal ini, berlaku kaedah: "Sesuatu yang tidak didapatkan semua (sesuai dengan idealisasi dan kehendak kita), seyogyanya tidak ditinggalkan semuanya".
Dalam khazanah fiqh siyasah, dikenal sekelompok masyarakat yang apatis terhadap situasi pertikaian antara dua kekuatan politik Islam, antara kelompok Khalifah Ali ibn Abi Thalib ra. dengan golongan Khawarij, yaitu golongan murji'ah. Dalam menghadapi realitas politik tersebut, kaum murji'ah bersikap apolitis dengan memilih tidak mengambil sikap politik apapun. Sikap apatisme sebagai bentuk protes atas dua kekuatan politik tersebut terbukti tidak memberikan kontribusi positif bagi kemashlahatan umat. Sikap seperti ini juga tidak akan menyelesaikan masalah, jika tujuannya adalah keinginan untuk menciptakan perbaikan (ishlah).
Jika disepakati bahwa pemilu adalah instrumen untuk penegakan kekuasaan negara, merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebagaimana UU Nomor 10 Tahun 2008), maka partisipasi warga dalam pemilu merupakan wujud tanggung jawab kebangsaan sekaligus kepedulian dalam mengontrol dan mengarahkan kebijakan negara yang demokratis.
Adanya wakil rakyat berfungsi untuk mengontrol kekuasaan legislatif. Hal ini menjadi instrumen atas apa yang juga diharapkan oleh Abu Bakar al-Shiddiq saat pidato pertama setelah ditetapkan sebagai khalifah:
Wahai umat manusia, jika aku berbuat baik maka bantulah aku, namun jika aku salah maka luruskanlah aku...patuhilah aku selama aku mematuhi Allah, jika aku membangkangiNya maka tiada kewajiban kalian untuk mematuhiku. Pernyataan senada juga disampaikan Umar bin Khathab, Khalifah pengganti Abu Bakar saat dikukuhkan sebagai Khalifah.
Pemilihan pemimpin dalam suatu komunitas masyarakat hukumnya adalah wajib berdasarkan Hadits Nabi saw yang memerintahkan untuk menunjuk pemimpin perjalanan ketika bersafar tiga orang.
Memilih pemimpin hukumnya wajib, sementara dalam konteks ketatanegaraan kita, pemilihan pemimpin bangsa dilakukan melalui penyelenggaraan pemilu, maka pemilu hukumnya wajib. Secara mafhum mukhalafah, seseorang yang mempunyai hak pilih tetapi tidak mengikuti pemilu dengan maksud menafikan proses pemilihan pemimpin (dan juga wakil rakyat yang berfungsi mengontrol), hukumnya haram.
Dengan demikian, hukum asal menggunakan hak pilih dalam pemilu adalah mubah (boleh), demikian juga golput dalam arti orang yang mempunyai hak pilih namun tidak menggunakannya hukumnya juga mubah. Hanya saja, banyak hal yang menyebabkan terjadinya golput, yang kemudian melahirkan hukum yang berbeda pula.
Golput dan abstain dalam partsipasi politik dan pemberian suara hukumnya tergantung kepada konteks dan kondisinya yang berkisar kepada asas mashalih ‘amah (kepentingan umum) dan siyasah syar’iyah (strategi dakwah dan politik islam). Golput dalam konteks partisipasi politik umat Islam diperlukan untuk adanya peluang kemaslalahatan dalam posisi kekuasaan dan power politik, maka hukum golput menjadi haram, mengingat masih adanya kelompok/partai politik serta calon pemimpin dan wakil rakyat yang dapat diharapkan. Namun jika konteksnya ketiadaan peluang dan harapan memberikan kemaslahatan politik bagi kebaikan publik dan sebagai alternatif boikot dan protes sandiwara demokrasi, maka hukumnya secara syariah boleh golput bahkan sunnah ataupun wajib tergantung tingkat kemaslahatan yang akan dicari dalam golput dan tingkat kemudharatan yang dapat diboikot.
Dalam konteks ‘memanfaatkan’ bukan dalam konteks menjadikannya ‘agama’ atau ‘keyakinan iman’ demokrasi Indonesia di era sekarang ini untuk kemaslahatan Islam dan umatnya, golput dalam pemilu lebih maslahat untuk dihindari dan perlu diminimalisir dengan memahami akar permasalahan yang menyebabkannya. Jika golput disebabkan kurangnya sosialisasi yang dilakukan pihak penyelenggara dan pemberian pendidikan politik oleh setiap partai politik, maka diperlukan langkah bijak dari para politisi dan KPU untuk terus melakukan sosialisasi dan pendidikan politik. Peningkatan jumlah golput jenis ini dalam pemilihan umum sebaiknya dapat menjadi bahan introspeksi bagi partai politik dan KPU, untuk bisa memperbaiki setiap tahapan pemilihan mulai pendataan pemilih hingga sosialisasi.
Jika alasan golput hanya karena faktor malas atau tingkat kesibukan dalam beraktifitas, maka berarti tingkat kesadaran akan tanggung jawab kebangsaan dan kenegaraan perlu diberikan. Kelompok jenis ini adalah kelmpok a-politis yang perlu disadarkan.
Sementara, jika golput karena merasa calon pemimpin atau wakil rakyat yang ada dianggap tidak kredibel, ditambah adanya citra buruk yang bersangkutan, maka partai politik bisa menangkal timbulnya golput, antara lain dengan memperbaiki citra mereka. Jika partai-partai cenderung menjadi sarang koruptor dan hanya mengobral janji yang muluk-muluk, bagaimana mungkin warga tertarik datang ke tempat pemilihan (pencontrengan). Wallahu A'lam Wabillahit Taufiq wal Hidayah.

Comments :

0 komentar to “HUKUM PARTISIPASI POLITIK DAN GOLPUT PEMILU (BAG.II)”

Post a Comment

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE