Saturday, May 02, 2009

SERTIFIKASI HALAL MUI SEBAGAI UPAYA JAMINAN PRODUK HALAL


A. PENDAHULUAN

Kepedulian ummat Islam terhadap kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsumsinya tidaklah dipandang berlebihan. Sebab bagi ummat Islam, kesucian dan kehalalan sesuatu yang akan dikonsusmsinya atau dipakai mutlaq harus diperhatikan, karena hal tersebut sangat menentukan diterima atau ditolaknya amal ibadah seorang muslim oleh Allah SWT kelak di akhirat. Jika apa yang dikonsumsi atau digunakan itu suci dan halal, amal ibadahnya akan diterima olah Allah. Sebaliknya, jika haram atau tidak suci, amal ibadahnya pasti ditolak Allah, selain itu dipandang telah berbuat dosa.

Di dalam ajaran Islam, makanan merupakan tolok ukur dari segala cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi umat Islam tidak sekedar sarana pemenuhan kebutuhan secara lahiriah, akan tetapi juga bagian dari kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Bahwa halal-haram bukanlah persoalan sederhana yang dapat diabaikan, melainkan masalah yang amat penting dan mendapat perhatian dari ajaran agama secara umum. Karena, masalah ini tidak hanya menyangkut hubungan antar sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Seorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram, atau yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat. Jadi masalah ini mengandung dimensi duniawi dan sekaligus ukhrawi.

Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang pangan, obat-obatan dan kosmetika dewasa ini sungguh sangat luar biasa. Jika dahulu pengolahan serta pemanfaatan bahan-bahan baku sangat sederhana dan apa adanya dari alam, maka sekarang manusia dengan IPTEK-nya telah dapat merekayasa apa yang terdapat dalam alam, sampai hal-hal yang mikro sekalipun. Dengan demikian, pengidentifikasian tentang proses dan bahan yang digunakan dalam suatu industri pangan, obat-obatan atau kosmetika tidak lagi menjadi suatu yang sederhana. Jika dulu untuk mengetahui kehalalan dan kesucian ketiga hal tersebut bukan merupakan persoalan, karena bahan-bahannya dapat diketahui secara jelas, serta prosesnya tidak terlalu rumit, kini persoalannya tidak sesederhana itu.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa untuk mengetahui kehalalan suatu produk pangan, obat-obatan dan kosmetika bukan hal yang mudah, diperlukan suatu kajian khusus yang cukup mendalam. Kajian yang membutuhkan, bukan saja kemauan, tetapi juga pengetahuan dalam bidang-bidang pangan, kimia, biokimia, teknologi industri, serta didukung oleh pemahaman pada syariat Islam. Dengan demikian, diperlukan adanya integrasi antara pemahaman IPTEK dan syariat Islam. Hal ini menunjukkan bahwa, tidak semua orang muslim akan dengan mudah dapat mengetahui status kehalalan atau keharaman suatu produk yang akan dikonsumsinya. Di sini tampak peranan penting ulama/fuqaha untuk menentukan hukumnya (lazim disebut fatwa).

B. OTORISASI DAN LEMBAGA SERTIFIKASI HALAL

Sebelum mengkaji siapa yang memiliki kewenangan (otoritas) dalam melakukan sertifikasi halal, ada baiknya diperhatikan terlebih dahulu hadist Nabi SAW berikut ini, yang artinya :

Yang halal itu sudah jelas, dan yang haram pun sudah jelas, dan diantara kedua hal tersebut terdapat yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halal haramnya), kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barangsiapa yang berhati-hati dari perkara syubhat, sebenarnya ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…”(H.R. Muslim)

Berdasarkan hadist tersebut jelaslah bahwa sesuatu yang halal atau haram adalah sesuatu yang telah dijelaskan oleh Allah SWT melalui Al-quran dan Hadist, sedangkan syubhat adalah sesuatu yang tidak memiliki kejelasan atau tidak dapat dijelaskan karena keragu-raguan dalam menerapkan nash atau kurangnya pengetahuan untuk mengkaitkannya dengan nash. Produk syubhat juga merupakan sesuatu yang secara teknis (prosesnya) tidak diatur dalam Alquran dan Hadist. Produk syubhat ini masuk dalam wilayah ijtihadiyah untuk mendapatkan ketetapan statusnya.

Selanjutnya, menurut pendapat Prof. Ibrahim Hosen, produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan, maupun kosmetika dikategorikan ke dalam kelompok musytabihat (syubhat), apalagi jika produk tersebut berasal dari negeri yang penduduknya mayoritas non-muslim, sekalipun bahan-bakunya berupa barang suci dan halal. Sebab, tidak tertutup kemungkinan dalam proses pengolahannya tercampur, atau menggunakan bahan-bahan yang haram atau tidak suci.

Berdasarkan penjelasan singkat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pada era teknologi ini yang perlu diperhatikan terhadap suatu produk adalah : 1) bahannya, dan 2) prosesnya. Dalam hal bahan, akan mudah penetapan status kehalalannya bila bahan yang digunakan tersebut merupakan bahan segar tanpa melalui proses pengolahan. Lain halnya jika bahan segar tersebut, baik tunggal maupun gabungan dengan bahan lain, mengalami proses pengolahan. Dalam proses pengolahan terkadang ditambahkan bahan tambahan atau bahan penolong sehingga perlu pengkajian lebih lanjut dalam penetapan status kehalalannya.

Dalam hal proses pengolahan pangan, maka yang menjadi perhatian adalah terjadinya pencampuran (ikhtilath), atau jika bahan tersebut dikeluarkan kembali dari produk, setidaknya akan terjadi pemanfatan (intifa’) bahan yang mungkin berasal dari bahan yang haram atau najis.

Kedua kondisi tersebut di atas membuat penetapan status kehalalan produk menjadi sulit. Terlebih lagi perkembangan teknologi pangan pada saat ini telah sampai pada kondisi dimana begitu banyak bahan baku dan bahan tambahan yang digunakan untuk memproduksi suatu makanan olahan. Sebagai contoh, puluhan jenis ingredien yang diperlukan untuk membuat mie instan, dari mulai terigu, minyak goreng, rempah-rempah, perisa (flavourings), garam, ekstrak khamir (yeast extract), dll. Jika kita selidiki lebih lanjut lagi, salah satu ingredien yaitu perisa (kebanyakan sintetik) ternyata mengandung juga puluhan bahan penyusun, baik itu dalam bentuk bahan kimia murni atau hasil suatu reaksi. Oleh karena itu, untuk meneliti kehalalan mie instan saja bukanlah hal mudah karena harus memeriksa berbagai sumber bahan, di samping produsen mie yang bersangkutan. Seringkali diperlukan waktu dan tahap yang cukup panjang untuk dapat mengetahui asal suatu bahan. Sebagai contoh, untuk memeriksa perisa ayam (bahan yang digunakan untuk menimbulkan rasa ayam) maka harus memeriksa industri flavor (flavour house) yang memproduksinya. Dari sekian banyak yang digunakan untuk menyusun perisa ayam, salah satunya yaitu lemak ayam, untuk itu perlu memeriksa pula produsen lemak ayam yang bersangkutan. Dengan demikian, dapat dibayangkan bahwa pekerjaan seorang auditor makanan dan minuman halal bukanlah pekerjaan mudah karena di samping memerlukan ketelitian yang tinggi juga memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang masalah yang dihadapi, dari mulai pengetahuan bahannya, cara memproduksinya sampai berbagai kemungkinan asal bahan dan cara-cara sintesisnya atau formulasinya.

Berdasarkan penjelasan di atas, sangat tegas dapat disimpulkan bahwa produk olahan masuk pada wilayah ijtihadiyah jika ingin mendapat kejelasan statusnya. Sedangkan persoalan ijtihadiyah adalah urusan ahli hukum fiqih (fuqoha/ulama). Namun demikian, akibat semakin pesatnya perkembangan teknologi, para ahli fiqih dalam proses penetapan status kehalalan suatu produk perlu mendapat informasi yang jelas dan jujur dari para teknolog. Dengan demikian Majelis Ulama Indonesia (MUI), dengan perangkat Komisi Fatwa dan LP POM (sebagai pemberi data ilmiah dari hasil kajian dan pemeriksaan/audit), merupakan lembaga yang tepat dalam menetapkan status kehalalan suatu produk olahan. Oleh sebab itu, maka sertifikat halal merupakan fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia. Dengan kata lain berdasarkan tinjauan di atas, MUI merupakan lembaga yang tepat sebagai lembaga sertifikasi halal.

C. Kriteria Lembaga Sertifikasi

Dalam era global ini permasalahan halal telah menjadi kompleks akibat perkembangan teknologi yang begitu pesat. Oleh karena itu, dalam penentuan fatwa para ahli fiqih harus bekerjasama, baik antar ahli fiqih dari berbagai mahzab maupun dengan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, apabila tidak, maka tidak tertutup kemungkinan terjadinya fatwa yang kurang proporsional dan menyulitkan implementasi di dunia industri. Oleh sebab itu, lembaga yang berhak menjadi lembaga sertifikasi halal harus memiliki criteria antara lain:

  1. Harus mewakili aspirasi umat Islam dan anggotanya hanya terdiri dari orang Islam saja, tidak ada yang beragama lain, untuk menghindari adanya bias dan conflict of interest. Perlu diingat bahwa masalah kehalalan berkaitan dengan keimanan sehingga sebenarnya bukan hanya anggotanya orang Islam saja, akan tetapi juga harus terdiri dari orang-orang yang beriman dengan benar.
  2. Memiliki dua kelompok keahlian, yaitu 1) kelompok keahlian yang berkaitan dengan teknologi pangan seperti ahli teknologi pangan, kimia, biokimia, dll, dan 2) kelompok keahlian di bidang hukum Islam (ulama/lembaga fatwa).
  3. Bersifat nonprofit oriented (tidak mencari keuntungan). Walaupun diperlukan biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen untuk menghidupi kegiatan lembaga ini dan melengkapi sarananya, akan tetapi biaya tersebut tidak boleh berlebihan sehingga akhirnya justru akan memberatkan konsumen.
  4. Mempunyai jaringan yang luas yang melingkupi seluruh wilayah Indonesia agar dapat melayani semua produsen yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
  5. Independen, tidak mewakili atau dipengaruhi oleh produsen maupun pemerintah. Pemerintah jelas diperlukan perannya yaitu membuat peraturan yang mempunyai kekuatan hukum (seperti peraturan pemerintah) dan pengawasan, akan tetapi pemerintah tidak perlu terlibat langsung dalam proses sertifikasi karena di samping akan memperpanjang birokrasi, juga dapat saja terjadi conflict of interest apabila unsur pemerintah masuk kedalam lembaga pemeriksa tersebut mengingat pemerintah juga mempunyai kepentingan terhadap produsen, misalnya dalam hal pemasukan uang negara.

Dari kriteria yang telah disebutkan di atas, tampak jelas bahwa MUI merupakan satu-satunya lembaga sertifikasi halal, sedangkan LP-POM sebagai perangkat lembaga sertifikasi berperan sebagai lembaga pemeriksa yang terdiri dari para ahli dibidang pangan, kimia, biokimia dan lain-lain sebagaimana disebutkan di atas. Komisi fatwa, sebagai perangkat MUI yang terdiri dari para ahli fiqih berperan memberikan fatwa terhadap produk hasil pemeriksaan dan penelitian LP POM. Adanya kerjasama antara ulama dan ilmuwan dalam tubuh MUI merupakan satu kekuatan tersendiri dalam penentuan kehalalan suatu produk, sehingga akan semakin menguatkan posisinya.

D. PROSES SERTIFIKASI HALAL SAAT INI

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa MUI sebagai lembaga sertifikasi halal memiliki perangkat yaitu LP POM dan Komisi Fatwa. LP POM melakukan pengkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan maka hasil pengkajian dan pemeriksaan tersebut di bawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas dari tinjauan sariah. Pertemuan antara sains dan sariah inilah yang dijadikan dasar penetapan fatwa oleh komisi fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI.

LP POM MUI melakukan pemeriksaan kehalalan terhadap produk dari aspek asal bahan, proses pengolahan, serta higien/sanitasi produksi. Pemeriksaan tersebut dilakukan setelah pemeriksaan terhadap sistem jaminan halal yang disusun dan disiapkan oleh perusahaan bersangkutan.

Pemeriksaan terhadap asal bahan lebih ditekankan pada penelusuran dokumen yang dimiliki perusahaan, sedangkan analisa laboratorium dilakukan jika diperlukan itupun terbatas pada analisa kadar alkohol dan identifikasi/distingsi bahan hewani atau nabati. Adapun analisa pada tingkatan autentifikasi sangat sulit dilakukan, bahkan hampir tidak mungkin. Hal ini dilakukan, selain prosesnya lebih simple juga biayanya lebih murah dibanding analisa laboratorium.

Belakangan banyak kalangan yang menyatakan bahwa pemeriksaan kehalalan suatu produk dapat dilakukan dengan cara analisa laboratorium. Jika yang dicampurkan adalah bahan segar, sebagai contoh daging sapi dan daging babi atau lemak sapi dengan lemak babi mungkin masih dapat dikenali melalui pemeriksaan yang teliti di laboratorium, walaupun tidak mudah. Di samping itu, setiap jenis analisis laboratorium selalu mempunyai keterbatasan yang disebut dengan limit deteksi, yaitu suatu batas dimana di bawah nilai limit deteksi kita tidak dapat memastikan apakah terjadi pencampuran atau tidak. Oleh karena itu, secara umum cara pemeriksaan laboratorium merupakan langkah akhir yang ditempuh dalam suatu pemeriksaan kehalalan karena masalah halalnya suatu bahan tidak dapat disebut 10% halal, 50% halal, dst, tetapi hanya ada dua kategori yaitu halal dan haram. Selain itu, daging sapi yang tercampur sedikit saja dengan daging babi, maka daging sapi yang tercampur tersebut menjadi haram, jadi dalam hal ini analisis yang dilakukan harus mempunyai limit deteksi 0% (secara teoritis hal ini tidak mungkin). Dengan demikian, analisis laboratorium hanya dapat menyarankan, tidak dapat memastikan.

Permasalahan akan lebih kompleks apabila yang dianalisa produk olahan dimana sifat-sifat daging atau lemak segar sudah berubah dan tercampur dengan bahan-bahan lain yang banyak sekali jumlahnya, jelas hal ini akan sangat menyulitkan deteksi adanya pencampuran, bahkan dapat dikatakan tidak mungkin untuk mendeteksinya. Hal yang lebih kompleks lagi terjadi pada kasus bahan tambahan makanan karena asal bahan tidak mudah ditelusuri melalui analisis laboratorium. Oleh karena itu, perlu diketahui bahwa analisis laboratorium untuk mendeteksi adanya daging atau lemak babi pada bahan pangan olahan sangat kecil kemungkinan keberhasilannya, yang masih memungkinkan adalah untuk bahan pangan hewani segar, itu pun tidak mudah, memerlukan keahlian khusus dan peralatan khusus.

Berikut kami sampikan bagan alir proses sertifikasi halal yang dilakukan MUI selama ini.

HARAPAN ADANYA UNDANG-UNDANG

Berdasarkan penjelasan di atas, maka beberapa hal yang diharapkan dengan adanya Undang-Undang Sistem Jaminan Produk Halal adalah sebagai berikut :

1. Sifat Sertifikasi Halal menjadi mandatory (wajib)

Mengingat tingginya kepentingan ummat Islam dalam mengkonsumsi produk halal sebagaimana dijelaskan di atas, maka sudah sewajarnya semua produk yang beredar di masyarakat memiliki status kehalalan yang jelas. Dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pasal 4 (a) disebutkan bahwa hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Pasal ini menunjukkan, bahwa setiap konsumen, termasuk konsumen muslim yang merupakan mayoritas konsumen di Indonesia, berhak untuk mendapatkan barang yang nyaman dikonsumsi olehnya. Salah satu pengertian nyaman bagi konsumen muslim adalah bahwa barang tersebut tidak bertentangan dengan kaidah agamnya, alias halal.

Selanjutnya, dalam pasal yang sama point. c disebutkan bahwa konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hal ini memberikan pengertian kepada kita, bahwa keterangan halal yang diberikan oleh perusahaan haruslah benar, atau telah teruji terlebih dahulu.

Dari keterangan tersebut da atas, maka sudah semestinya sertifikasi halal yang saat ini hanya bersifta sukarela (voluntary) harus menjadi suatu kewajiban (mandatory).

2. MUI sebagai Lembaga Sertifikasi Halal

Berdasarkan uraian di atas dan mengingat bahwa sertifikat halal merupakan fatwa tertulis MUI, maka tampak jelas bahwa MUI merupakan satu-satunya lembaga sertifikasi halal di Indonsia, sedangkan LP-POM sebagai perangkat lembaga sertifikasi berperan sebagai lembaga pemeriksa yang terdiri dari para ahli dibidang pangan, kimia, biokimia dan lain-lain. Komisi fatwa, sebagai perangkat MUI yang terdiri dari para ahli fiqih berperan memberikan fatwa terhadap produk hasil pemeriksaan dan penelitian LP POM. Dengan demikian Sertifikat Halal MUI harus diakui pemerintah sehingga memiliki nilai kekuatan hukum .

3. Kejelasan tentang Labelisasi Halal

Pemberian tanda halal dalam bentuk label halal merupakan upaya perlindungan konsumen muslim yang merupakan konsumen terbesar di Indonesia. Untuk itu, kewajiban pencantuman label halal dapat sangat membantu konsumen muslim untuk dapat memilih produk yang akan dikonsumsinya. Namun demikian, perlu ditegaskan bahwa pencantuman label halal baru dapat dilakukan oleh perusahaan manakala produk yang dimilikinya telah mendapat sertifikat halal MUI. Selain itu, bentuk logo halal yang khas dan seragam sangat di dambakan konsumen mengingat saat ini belum ada keseragaman logo halal sehingga dapat membingungkan mana logo halal yang didukung oleh sertifikat halal dan mana yang tidak.

4. Pengawasan terhadap Produk Impor

Dalam sistem perdagangan internasional masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN - AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional/World Trade Organization. Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO dan WTO. Negara-negara produsen akan mengekspor produknya ke negara-negara berpenduduk Islam termasuk Indonesia. Dalam perdagangan internasional tersebut “label/tanda halal” pada produk mereka telah menjadi salah satu instrumen penting untuk mendapatkan akses pasar untuk memperkuat daya saing produk domestiknya di pasar internasional.

Yang perlu menjadi perhatian adalah lembaga sertifikasi halal Luar Negeri. Sertifikat halal yang berasal dari lembaga sertifikasi halal luar negeri baru dapat diakui setetlah memenuhi standard lembaga sertifikasi halal yang ditetapkan oleh MUI. Diantara persyaratan lembaga sertifikasi halal luar negeri yang dapat diakui MUI adalah : 1. Lembaga tersebut merupakan lembaga Islam, 2) memiliki auditor, dan 3) memiliki lembaga fatwa (komisi fatwa).

5. Sanksi dan Incentive

Tambahan dari apa yang telah diungkap di atas adalah adanya sanksi yang tegas terhadap semua pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha. Sanksi sangat diperlukan dalam upaya menambah keyakinan bagi konsumen bahwa mereka dilindungi oleh Negara. Ketiadaan sanksi, akan membuat peraturan yang ada menjadi tidak berarti sehingga masyarakat dapat dirugikan akibat dari kurangnya perlindungan bagi mereka dari ulah pengusaha nakal. Sebaliknya, bagi pengusaha yang telah berupaya dengan sungguh-sungguh mengikuti aturan dengan menyediakan produk halal bagi konsumen muslim perlu mendapat penghargaan yang dapat memacu pengusaha lainnya melakukan hal yang sama. Demikianlah pendapat dan harapan kami dengan adanya renacana penyusunan Undang-undang Penjaminan Produk Halal. Semoga dapat diterima dengan baik oleh anggota Dewan yang terhormat. ((Bahan diskusi dalam Penyusunan RUU Jaminan Produk halal disusun Oleh Lukmanul Hakim, Ir., M.Si Wk. Direktur LP POM MUI)




Comments :

0 komentar to “SERTIFIKASI HALAL MUI SEBAGAI UPAYA JAMINAN PRODUK HALAL”

Post a Comment

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE