Thursday, May 21, 2009

BOEDIONO DAN EKONOMI SYARIAH



Tepuk tangan bergema di Gedung Chandra, Bank Indonesia, Selasa, 23 Desember 2008. Malam itu, dalam pelantikan Masyarakat Ekonomi Syariah, Gubernur Bank Indonesia, Boediono, memberikan pernyataan melegakan. ‘’Jangan ada keraguan, BI akan mendukung perkembangan ekonomi syariah.’‘
Untuk memperkuat pernyataannya, Pak Boed kemudian menyebut dua nama Deputi Gubernur BI yang duduk sebagai pengurus Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) 2008-2011. Pertama, Siti Halimah Fadjrijah, sebagai wakil ketua Dewan Penasihat dan Muliaman D Hadad sebagai ketua umum MES. Tepuk tangan para tokoh ekonomi syariah dan pengurus MUI yang hadir malam itu, kembali bergemuruh.
Pak Boed tidak sedang menyenangkan hati tokoh-tokoh Islam yang hadir ketika itu. Ia paham soal ekonomi syariah. Ketika memberikan sambutan pada Festival Ekonomi Syariah yang dibuka Presiden SBY, Februari lalu, Pak Boed bahkan menyerukan perbankan konvensional meneladani perbankan syariah dan mengajak mereka kembali ke khittah.
Alasannya, krisis keuangan yang melanda dunia saat ini, antara lain disebabkan munculnya produk-produk keuangan spekulatif yang berisiko tinggi. Produk-produk ini tidak memiliki pijakan, instrumen keuangan semakin terlepas dari underlying transaction. Akibatnya, menjadi gelembung, membesar, dan akhirnya pecah. Krisis keuangan pun terjadi menghantam semua negara.
Ini berbeda dengan perbankan syariah. Menurutnya, sejak awal sistem ekonomi syariah, terutama perbankan syariah, tidak memperkenankan produk bersifat spekulatif. Prinsip syariah memberikan landasan bagi pengelolaan ekonomi yang sehat, yang didasari nilai-nilai universal, yaitu wajar, adil, dan transparan dalam mencapai kesejahteraan bersama. Sistem ini pun sangat tahan krisis.
BI memang serius mendorong ekonomi syariah. Selama 2008, dua undang-undang disahkan, yakni UU tentang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) dan UU Perbankan Syariah. Landasan hukum ini, menurut Boediono, memberikan basis yang kuat dan ruang lebih jelas bagi penyusunan konsep pengaturan yang sesuai karakteristik perbankan syariah.
Kini, Pak Boed—menteri masa Pak Habibie, Megawati, dan SBY— dipilih bakal calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai calon wakil presiden. Banyak harapan padanya, terutama meningkatkan perekonomian nasional dan menjadikan Indonesia lebih sanggup dan bermartabat.
Seperti, ketika ia berkata pada Juli 2003 lalu: ‘’Siapa pun yang dipilih pada pemerintahan mendatang, kita berharap mendapatkan estafet dalam bentuk ekonomi yang on going, ekonomi yang berjalan baik. Jangan ekonomi bobrok yang diserahkan. Ini adalah kepentingan kita semua untuk menjadi referensi, meskipun kita bersilang pendapat.’‘
Kamis malam, 27 April 2006, di Tanah Suci Makkah, setelah thawaf, Presiden dan Ibu Ani SBY, sejumlah menteri, termasuk Pak Boed, dan semua rombongan secara bergantian, Alhamdulillah, memasuki Ka’bah. Entah apa doa Pak Boed ketika itu, tapi ia kelihatan khusuk.

Di Madinah, setelah umrah, rombongan diperkenankan pula masuk ke dalam makam Rasulullah SAW. Alhamdulillah.... Di Abu Dhabi, dalam rangkaian lawatan Presiden di lima negara Timur Tengah itu, kami bertemu Pak Boed di kompleks pertokoan Marina. Ia tidak terlihat seperti seorang menteri dengan pengawalan ajudan. Di sini, Pak Boed, yang dikenal sederhana, membeli tiga baju obralan seharga 80 dirham (sekitar Rp 198 ribu).
Ketika kami bertanya, Menko Perekonomian yang berprinsip ‘jangan mengambil yang bukan hak’ itu menjawab enteng, ‘’Nggak apa-apa dong menteri pakai baju obral. Dapat tiga baju seharga 80 dirham, murah kan,’‘ katanya berlalu, sambil menenteng tas plastik.
Pak Boed apa adanya dan kita berharap jika nanti terpilih, ia tidak berubah, termasuk komitmennya terhadap ekonomi syariah. ■ Oleh: Asro Kamal Rokan. Sumber: Harian Republika (20/5/09)


Comments :

0 komentar to “BOEDIONO DAN EKONOMI SYARIAH”

Post a Comment

 

Copyright © 2009 by SBU INSTITUTE